Tuesday, September 7, 2010

DOKUMEN SUPARDJO

Salah seorang konspirator G-30-S yang ada di pangkalan udara Halim pada 1 Oktober, yaitu Brigadir Jenderal Supardjo, menulis sebuah analisis postmortem tentang kegagalan mereka. Tulisan ini diberinya judul “Beberapa Pendapat jang Mempengaruhi Gagalnja ‘G-30-S’ Dipandang dari Sudut Militer”.

Ini satu-satunya dokumen yang tersedia sampai sekarang yang ditulis oleh pelaku G-30-S sebelum ia tertangkap. Dengan demikian, informasi yang terkandung di dalamnya mempunyai bobot keterandalan dan kejujuran yang khas.

Supardjo menulis demi kepentingan kawan-kawannya, bukan bagi para interogator dan penuntut umum yang memusuhinya. Jika kita hendak menganalisis G-30-S lagi, seyogianya kita mulai dengan dokumen ini, melihat kesimpulan apa yang dapat ditarik dari sana, dan kemudian memeriksa kembali bukti-bukti yang ada dengan mempertimbangkan dokumen ini.


Kehadiran Supardjo di Jakarta pada saat aksi itu sendiri sudah menimbulkan tanda tanya karena ia semestinya ditempatkan jauh di Kalimantan Barat, sebagai komandan pasukan di sepanjang perbatasan dengan Malaysia. Jabatan resmi Supardjo adalah sebagai Panglima Komando Tempur IV Komando Mandala Siaga. Perwira-perwira lain yang terlibat dalam G-30-S, seperti Letnan Kolonel Untung, Kolonel Latief, dan Mayor Soejono, memimpin pasukan-pasukan mereka di Jakarta.

Tapi Supardjo agaknya tidak dapat menyediakan pasukan apa pun untuk aksi itu. Lalu, apa tujuan pelibatan dirinya jika ia tampilsebagai pemain perseorangan belaka dan tidak mempunyai pasukan untuk disumbangkan? Ia tidak mungkin terlibat secara berarti dalam perencanaan aksi 1 Oktober karena selama bulan-bulan sebelumnya ia berada di sepanjang perbatasan dengan Malaysia. Lalu, jika ia tidak terlibat dalam perencanaan, mengapa ia mau ikut di dalamnya? Ia bukanlah teman lama yang akrab dan terpercaya bagi para perwira yang lain. Ia berasal dari komando militer Jawa Barat (Siliwangi), sedangkan Untung dan Latief dari komando Jawa Tengah (Diponegoro), dan Soejono seorang perwira AURI yang berpangkalan di Jakarta. Bagaimana bisa Supardjo tergelung dalam kelompok ini pada awalnya?

Analisis postmortem Supardjo memberi kesan bahwa ia tidak bertanggung jawab dalam pengorganisasian G-30-S. Ia menulis sebagai seorang perwira militer yang dibingungkan oleh semua penyimpangan gerakan dari praktik baku kemiliteran. Seandainya ia yang bertanggungjawab, orang dapat berharap bahwa aksi G-30-S akan menjadi operasi yang lebih profesional.

Supardjo menjadi brigadir jenderal pada umur empat puluh empat justru karena keberhasilannya yang gemilang dalam pertempuran. Sampai 1965 ia sudah mengabdi dalam ketentaraan selamadua puluh tahun, dari saat perang kemerdekaan, ketika ia menjadi terkenal dalam pertempuran di Jawa Barat melawan pasukan Belanda. Belakangan, sebagai komandan distrik militer di Jawa Barat pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, ia memainkan peranan sangat penting dalam perang pengikisan pemberontakan gerakan Darul Islam. Ia juga belajar teori peperangan, setelah menghabiskan satu tahun di sekolah staf tentara Pakistan di Quetta, tempat ia menulis naskah tentang perang gerilya. Berbicara tentang masalah-masalah kemiliteran, jenderal bertubuh ramping berkumis tipis inilah ahlinya.

Supardjo menulis analisis tentang Gerakan 30 September ketika ia dalam pengejaran. Hidupnya di ambang kehancuran: G-30-S telah ambruk; pangkatnya dilucuti dan ia dipecat dari ketentaraan; ia dipisahkan dari istri dan sembilan anak-anaknya (yang terus-menerus berada di bawah pengawasan); kawan-kawannya sesama konspirator, seperti Untung, telah disidang dan dijatuhi hukuman mati. Angkatan Darat memburu Supardjo ke seluruh penjuru negeri. Namun terlepas dari hal-hal yang tentu sangat mengecewakannya, ia telah menuliskan tentang G-30-S tanpa rasa dengki atau dendam.

Karena dokumen ini tidak bertanggal, kita hanya dapat menduga duga kapan waktu penyusunannya. Supardjo menulis analisis ini setidaktidaknya satu bulan sesudah peristiwa; dia menyebutkan bahwa sepucuk surat yang ditulisnya untuk Sukarno pada awal Oktober 1965 baru dikirim satu bulan kemudian. Dapat diduga bahwa ia menulis analisisnya untuk kepentingan Sudisman, yang, sebagai anggota senior inti Politbiro PKI yang masih hidup, mengambil tanggung jawab pada 1966 dengan menulis kritik terhadap kebijakan PKI sebelumnya. Supardjo mencatat pada alinea pertama bahwa analisisnya dimaksudkan untuk membantu “kawan pimpinan” dalam mengembangkan “analisa secara menyeluruh” tentang G-30-S. Kritik Politbiro diumumkan pada September 1966, sehingga analisis Supardjo kemungkinan ditulis sebelumnya.

Sedikit sekali keraguan terhadap otentisitas dokumen Supardjo, walaupun ia sendiri menyangkalnya. Naskah ini terlalu rumit untuk dipalsukan. Usaha militer untuk memalsu – pengakuan Aidit dan Njono – sungguh-sungguh kasar. Selain itu, agen-agen intelijen militer tidak akan berusaha begitu keras menyusun dokumen yang demikian ruwet lalu tidak menggunakannya sama sekali. Baik Letnan Kolonel Heru Atmodjo, yang dipenjarakan bersama Supardjo, maupun putra Supardjo, Sugiarto, telah memastikan bahwa Supardjo memang menulis dokumen itu.

BEBERAPA PENDAPAT JANG MEMPENGARUHI

GAGALNJA “G-30-S” DIPANDANG DARI SUDUT MILITER (1966)

 

Brigadir Jenderal Supardjo

 

Catatan Pengantar

 

Dokumen ini merupakan bagian dari berkas rekaman persidangan Mahmilub untuk Supardjo pada 1967. Petugas-petugas militer memperoleh salinan dari dokumen asli mungkin ketika mereka menangkap Supardjo pada Januari 1967 atau ketika mereka menyita dokumen – dokumen yang diselundupkan ke dalam penjara. Anggota staf Mahmilub menyalin dari aslinya dengan mengetik. Satu orang yang membaca dokumen asli pada akhir 1960-an saat berada di dalam penjara bersama Supardjo adalah Heru Atmodjo. Ia menegaskan bahwa salinan yang saya perlihatkan kepadanya sama dengan yang pernah ia baca. Ketika saya (John Rossa, red.) memperlihatkan salinan yang sama kepada salah satu putra Supardjo, Sugiarto, ia mengenali gaya penulisan ayahnya dan argumen-argumen yang dikemukakan ayahnya kepada keluarganya secara lisan. Pengetik di Mahmilub kemungkinan sudah membuat kesalahan kesalahan dalam proses penyalinan.

Motto:
Dalam kalah terkandung unsur2 menang! (Falsafah “Satu petjah djadi dua.”)

Kawan pimpinan,

Kami berada di “Gerakan 30 September” selama satu hari sebelum peristiwa, “pada waktu peristiwa berlangsung” dan “satu hari setelah peristiwa berlangsung.”Dibanding dengan seluruh persiapan,waktu jang kami alami adalah sangat sedikit. Walaupun jang kami ketahui adalah hanja pengalaman selama tiga hari sadja, namun adalah pengalaman saat2 jang sangat menentukan. Saat2 dimana bedil mulai berbitjara dan persoalan2 militer dapat menentukan kalah menangnja aksi2 selandjutnja. Dengan ini kami sampaikan beberapa pendapat, dipandang dari sudut militer tentang kekeliruan2 jang telah dilakukan, guna melengkapi bahan2 analisa setjara menjeluruh oleh pimpinan dalam rangka menelaah peristiwa “G-30-S.” Tjara menguraikannja mula2 kami utarakan fakta2 peristiwa jang kami lihat dan alami, kemudian kami sampaikan pendapat kami atas fakta2 tersebut.

Fakta2 pada malam pertama sebelum aksi dimulai:

1. Kami djumpai kawan2 kelompok pimpinan militer pada malam sebelum aksi dimulai, dalam keadaan sangat letih disebabkan kurang tidur. Misalnja: kawan Untung tiga hari ber-turut2 mengikuti rapat2 Bung Karno di Senajan dalam tugas pengamanan.

2. Waktu laporan2 masuk, tentang pasukan sendiri dari daerah2, misalnja Bandung, ternjata mereka terpaksa melaporkan siap, sedangkan keadaan jang sebenarnja belum.

3. Karena tidak ada uraian jang jelas bagaimana aksi itu akan dilaksanakan maka terdapat kurang kemufakatan tentang gerakan itu sendiri dikalangan kawan2 perwira di dalam Angkatan Darat. Sampai ada seorang kawan perwira jang telah ditetapkan duduk dalam team pimpinan pada saat jang menentukan menjatakan terang2-an mengundurkan diri.

4. Waktu diteliti kembali ternjata kekuatan jang positip di fihak kita hanja satu kompi dari Tjakrabirawa. Pada waktu itu telah timbul keragu2-an, tetapi ditutup dengan sembojan “apa boleh buat, kita tidak bisa mundur lagi.”

5. Dengan adanja kawan perwira jang mengundurkan diri, maka terasa adanja prasangka dari team pimpinan terhadap kawan lain di dalam kelompok itu. Saran2 dan pertanjaan2 dihubungkan dengan pengertian tidak kemantapan dari si penanja. Misalnja, bila ada jang menanjakan bagaimana imbangan kekuatan, maka didjawab dengan nada jang menekan: “ja, Bung, kalau mau revolusi banjak jang mundur, tetapi kalau sudah menang, banjak jang mau ikut.” Utjapan2 lain: “kita ber-revolusi mumpung kita masih muda, kalau sudah tua buat apa.”

6. Atjara persiapan di L.B. [Lubang Buaya] kelihatan sangat padat,sampai djauh malam masih belum selesai, mengenai penentuan code2 jang berhubungan dengan pelaksanaan aksi. Penentuan dari peleton2 jang harus menghadapi tiap2 sasaran, tidak dilakukan dengan teliti. Misalnja, terdjadi bahwa sasaran utama mula2 diserahkan pelaksanaannja kepada peleton dari pemuda2 jang baru sadja memegang bedil, kemudian diganti dengan peleton lain dari tentara, tetapi ini pun bukan pasukan jang setjara mental telah dipersiapkan untuk tugas-tugas chusus.

Fakta2 pada hari pelaksanaan:

7. Berita pertama jang masuk bahwa Djenderal Nasution telah disergap, tetapi lari.
Kemudian team pimpinan kelihatan agak bingung dan tidak memberikan perintah2 selandjutnja.

8. Menjusul berita bahwa Djenderal Nasution bergabung dengan Djenderal Suharto dan Djenderal Umar di Kostrad. Setelah menerima berita ini pun, pimpinan operasi tidak menarik kesimpulan apa2.

9. Masuk berita lagi bahwa pasukan sendiri dari Jon Djateng dan Jon Djatim tidak mendapat makanan, kemudian menjusul berita bahwa Jon Djatim minta makan ke Kostrad. Pendjagaan RRI ditinggalkan tanpa adanja instruksi.

10. Menurut rentjana, kota Djakarta dibagi dalam tiga sektor, Selatan,Tengah dan sektor Utara. Tetapi waktu sektor2 itu dihubungi, semua tidak ada di tempat (bersembunji).

11. Suasana kota mendjadi sepi dan lawan selama 12 djam dalam keadaan panik.

12. Djam 19.00 (malam kedua). Djenderal Nasution-Harto dan Umar membentuk suatu komando. Mereka sudah memperlihatkan tanda2 untuk tegenaanval [serangan balik] pada esok harinja.

13. Mendengar berita ini Laksamana Omar Dani mengusulkan kepada Kw. Untung agar AURI dan pasukan “G-30-S” diintegrasikan untuk menghadapi tegenaanval Nato cs (Nasution-Harto). Tetapi tidak didjawab setjara kongkrit. Dalam team pimpinan G-30-S, tidak memiliki off ensi-geest [semangat menyerang] lagi.

14. Kemudian timbul persoalan ketiga. Ja, ini dengan hadirnja Bung Karno di Lapangan Halim.
Bung Karno kemudian melantjarkan kegiatan sbb:

  • Memberhentikan gerakan pada kedua belah pihak (dengan keterangan bila perang saudara berkobar, maka jang untung Nekolim).
  • Memanggil Kabinet dan Menteri2 Angkatan. Nasution-Harto dan Umar menolak panggilan tersebut. Djenderal Pranoto dilarang oleh Nasution untuk memenuhi panggilan Bung Karno.
  • Menetapkan caretaker bagi pimpinan A.D.

Hari kedua:

15. Kawan2 pimpinan dari “G-30-S” kumpul di L.B. Kesatuan RPKAD mulai masuk menjerang, keadaan mulai “wanordelijk” (katjau). Pasukan2 pemuda belum biasa menghadapi praktek perang jang sesungguhnja. Pada moment jang gawat itu, sadja mengusulkan agar semua pimpinan sadja pegang nanti bila situasi telah bisa diatasi, sadja akan kembalikan lagi. Tidak ada djawaban jang kongkrit.

16. Kemudian diadakan rapat, diputuskan untuk memberhentikan perlawanan masing2 bubar, kembali ke rumahnja, sambil menunggu situasi. Bataljon Djateng dan sisa Bataljon Djatim jang masih ada akan diusahakan untuk kembali ke daerah asalnja.

17. Hari itu djuga keluar perintah dari Bung Karno agar pasukan berada di tempatnja masing2 dan akan diadakan perundingan. Tetapi fihak Nato tidak menghiraukan dan menggunakan kesempatan itu untuk terus mengobrak-abrik pasukan kita dan bahkan P.K.I. Demikianlah fakta2 jang kami saksikan sendiri dan dari fakta2 ini tiap2 orang akan dapat menarik peladjaran atau kesimpulan jang berbeda-beda.

Adapun kesimpulan jang dapat kami tarik adalah sbb:
1. Keletihan dari kawan2 team pimpinan jang memimpin aksi dibidang militer sangat mempengaruhi semangat operasi, keletihan ini mempengaruhi kegiatan2 pengomandoan pada saat2 jang terpenting di mana dibutuhkan keputusan2 jang tjepat dan menentukan dari padanja.

2. Waktu info2 masuk dari daerah2, sebetulnja daerah belum dalam keadaan siap sedia. Hal ini terbukti kemudian bahwa masih banjak penghubung2 belum sampai di daerah2 jang ditudju dan peristiwa sudah meletus (kurir jang ke Palembang baru sampai di Tandjung Karang). Di Bandung siap sepenuhnja tapi untuk tidak repot2 menghadapi pertanjaan2 didjawab sadja “sudah beres.”

3. Rentjana operasinja ternjata tidak djelas. Terlalu dangkal. Titik berat hanja pada pengambilan 7 Djenderal sadja. Bagaimana kemudian bila berhasil, tidak djelas, atau bagaimana kalau gagal djuga tidak djelas. Dan apa rentjananja bila ada tegenaanval, misalnja dari Bandung, bahkan tjukup dengan djawaban: “sudah, djangan pikir2 mundur!” Menurut lazimnja dalam operasi2 militer, maka kita sudah memikirkan pengunduran waktu kita madju dan menang, dan sudah memikirkan gerakan madju menjerang waktu kita dipukul mundur.

Hal demikian, maksud kami persoalan mundur dalam peperangan bukanlah persoalan hina, tetapi adalah prosedur biasa pada setiap peperangan atau kampanje. Mundur bukan berarti kalah, adalah suatu bentuk dalam peperangan jang dapat berubah menjadi penjerangan dari kemenangan. Membubarkan pasukan adalah menjerah kalah. Hal ini pula jang menjebabkan beberapa kawan militer mengundurkan diri, selain kawan tsb di hinggapi unsur ragu2, tetapi bisa ditutup bila ada rentjana jang djelas dan mejakinkan atas djalannja kemenangan.

4. Waktu dihitung2 kembali kekuatan jang bisa diandalkan hanja satu kompi dari Tjakrabirawa, satu bataljon diperkirakan dari Djateng dapat digunakan dan satu bataljon dari Djatim bisa digunakan sebagai figuran. Ditambah lagi dengan seribu lima ratus pemuda jang dipersendjatai. Waktu diajukan pendapat, apakah kekuatan jang ada  dapat mengimbangi, maka djawaban dengan nada menekan, bahwa bila mau revolusi sedikit jang turut, tetapi kalau revolusi berhasil tjoba lihat nanti banjak jang turut.

Ada pula pendjelasan jang sifatnja bukan tehnis, misalnja, “kita masih muda, kalau sudah tua, bakalapa revolusi.” Kembali lagi mengenai masalah kekuatan kita, tjukup mempunjai kekuatan di Angkatan Darat jang tjukup tangguh.

Dipandang dari segi tehnis militer, maka serangan pokok, dimana komandan operasi tertinggi sendiri memimpin, harus memusatkan kekuatannja pada sasaran jang menentukan. Saja berpendapat bahwa strategi kawan pimpinan adalah strategi “menjumet sumbu petasan” di Ibu kota, dan diharapkan mertjonnja akan meledak dengan sendirinja, jang berupa pemberontakan Rakjat dan perlawanan di daerah2 setelah mendengar isjarat tersebut.

Disini terdapat sesuatu kekeliruan:
pertama: Tidak memusatkan induk kekuatan pada sasaran
pokok. Kedua: Tidak bekerdja dengan perhitungan kekuatan jang sudah kongkrit.

5. Kami dan kawan2 di Staf melakukan kesalahan sebagai berikut:

Menilai kemampuan kawan pimpinan operasi terlalu tinggi. Meskipun fakta2 njata tidak logis. Tetapi percaya bahwa pimpinan pasti mempunjai perhitungan jang ulung, jang akan dikeluarkan pada waktunja. Sesuatu keajaiban pasti akan diperlihatkan nanti,

sebab pimpinan operasi selalu bersembojan “Sudah kita mulai sadja, dan selandjutnja nanti djalan sendiri.” Kami sendiri mempunjai kejakinan akan hal ini, karena terbukti operasi2 jang dipimpin oleh partai sekawan, seperti kawan Mao Tzetung jang dimulai dengan satu regu, kemudian kita menumbangkan kekuatan Tjiang Kai Sek jang djumlahnja ratusan ribu. Setelah peristiwa jang pahit ini, maka kita sekalian perlu kritis dan bekerdja dengan perhitungan2 jang kongkrit. Apa jang kami lihat di Lobang Buaja, sebetulnja taraf mempersiapkan diri sadja belum selesai.

Pada malam terachir bematjam2 hal jang penting belum terselesaikan, umpama: Pasukan jang seharusnja datang, belum djuga hadir (dari AURI). Ketentuan atau petundjuk2 masih dipersiapkan. Peluru2 di peti2 belum dibuka dan dibagikan. Dalam hal ini kelihatan tidak ada pembagian pekerdjaan, semua tergantung dari Pak Djojo. Kalau Pak Djojo belum datang, semua belum berdjalan. Dan kalau Pak Djojo datang, waktu sudah mendesak. Ketika masuk berita bahwa Nasution tidak kena dan melarikan diri, kelompok pimpinan mendjadi terperandjat, kehilangan akal dan tidak berbuat apa2. Meskipun ada advis untuk segera melakukan offensip lagi, hanja didjawab: “Ja”, tetapi tidak ada pelaksanaannja. Selama 12 djam, djadi satu siang penuh, musuh dalam keadaan panik. Tentara2 dikota diliputi suasana tanda tanja, dan tidak sedikit jang kebingungan. (Waktu ini kami di istana, djadi melihat sendiri keadaandi kota.)

Disini kami mentjatat suatu kesalahan jang fundamentil jang pernah terdjadi dalam suatu operasi (kampanje), jani: “Tidak uitbuiten [memanfaatkan] sesuatu sukses” (prosedur biasa dalam melaksanakan prinsip2 pertempuran jang harus dilakukan oleh tiap2 komandan pertempuran). Prinsip tersebut diatas, sebetulnja bersumber dari adjaran Marx jang mengatakan: “Bahwa setelah terdjadi suatu pemberontakan, tidak boleh ada sesaat pun dimana serangan terhenti. Ini berarti bahwa massa jang turut dalam pemberontakan dan mengalahkan musuh dengan mendadak, tidak boleh memberikan suatu kesempatan pun kepada kelas jang berkuasa untuk mengatur kembali kekuasaan politiknja. Mereka harus menggunakan saat jang itu sepenuhnja, untuk mengachiri kekuasaan rezim dalam negeri.”

Kami berpendapat, bahwa sebab dari semua kesalahan ini karena staf pimpinan dibagi 3 sjaf:
a) Kelompok Ketua.
b) Kelompok Sjam cs.
c) Kelompok Untung cs.

Seharusnja operasi berada di satu tangan.Karena jang menondjol pada ketika itu adalah gerakan militer, maka sebaiknja komando pertempuran diserahkan sadja kepada kawan Untung dan kawan Sjam bertindak sebagai Komisaris politik. Atau sebaliknja, kawan Sjam memegang komando tunggal sepenuhnja. Dengan sistim komando dibagi ber-syaf2, maka ternjata pula terlalu banjak diskusi2 jang memakan waktu sangat lama sedangkan pada moment tsb. dibutuhkan pengambilan keputusan jang tjepat, karenapersoalan setiap menit ber-ganti2, susul-menjusul dan tiap2 taraf persoalan harus satu persatu setjepat mungkin ditanggulangi.

[tidak ada poin enam]

7. Setiap penjelenggaraan perang, seharusnja djauh sebelumnja mempunjai “Picture of the Battle” (Gambaran Perang). Apa jang mungkin terdjadi setelah peristiwa penjergapan, bagaimana situasi lawan pada setiap saat dan setiap taraf pertempuran, bagaimana situasi pasukan sendiri, bagaimana situasi pasukan di Djakarta, bagaimana situasi di Bandung (ingat pusat Siliwangi), bagaimana situasi di Djateng dan Djatim, dan bagaimana situasi diseluruh pelosok tanah air (dapat diikuti via radio). Dengan berbuat demikian, maka kita bias melihat posisi taktis di Djakarta dalam hubungannja dengan strategi jang luas. Dan sebaliknja, perhubungan strategi jang menguntungkan atau merugikan dapat tjepat2 kita mengubah taktik kita di medan pertempuran.

Pada waktu musuh panik seharusnja tidak usah diberi waktu.Kita harus masukmenjempurnakan kemenangan kita. Dalam keadaan demikian musuh dalam keadaan serba salah dan kita dalam keadaan serba benar. Satu bataljon jang panik akan dapat dikuasai oleh hanja kekuatan satu regu sadja. Tetapi hal jang menguntungkan ini tidak kita manfaatkan. Bahkan kita berlaku sebaliknja:

  1. Komandan Sektor (Selatan/Tengah/Utara) dalam keadaan dimana kita sedang djaya, malah pada menghilang. Mereka bertugas di antaranja mengurus soal2 administrasi, terhadap pasukan jang beroperasi dan berada di masing2 sektornja. Tetapi semua sektor seperti jang telah ditetapkan, hanja tinggal di atas kertas sadja. Dari sini kita menarik peladjaran dengan tidak adanja kontak antara satu sama lain (faktor verbinding komunikasi), maka masing2 mendjadi terdjerumus dalam kedudukan terasing, sehingga buta situasi dan menimbulkan ketakutan.
  2. Siaran radio RRI jang telah kita kuasai tidak kita manfaatkan. Sepandjang hari hanja dipergunakan untuk membatjakan beberapa pengumuman sadja. Radio stasion adalah alat penghubung (mass media). Seharusnja digunakan semaksimal mungkin oleh barisan Agitasi Propaganda. Bila dilakukan, keampuhannja dapat disamakan dengan puluhan Divisi tentara. (Dalam hal ini lawan telah sukses dalam perang radio dan pers.)
  3. Pada djam2 pertama Nato cs menjusun komando kembali. Posisi jang sedemikian ialah posisi jang sangat lemah. Saat itu seharusnja pimpinan operasi musuh disergap tanpa chawatir resiko apa2 bagi pasukan kita.

8. Semua kematjetan gerakan pasukan disebabkan diantaranja tidak makan. Mereka tidak makan semendjak pagi, siang dan malam, hal ini baru diketahui pada malam hari ketika ada gagasan untuk dikerahkan menjerbu kedalam kota.

Pada waktu itu Bataljon Djateng berada di Halim. Bataljon dari Djatim sudah ditarik ke Kostrad dengan alasan makanan. Sebetulnja ada 2 djalan jang bisa ditempuh,

pertama: Komandan Bataljon diberi wewenang untuk merektuir makanan di tempat2 dimana ia berada. Hubungan dengan penduduk atau mengambil inisiatip membuka gudang2 makanan, separo bias dimakan dan selebihnja diberikan kepada Rakjat jang membantu memasaknja. Dengan demikian ada timbal balik dan tjukup simpatik dan dapat dipertanggung djawabkan.

Djalan kedua: Organisasi sector seharusnja menjelenggarakan hal tsb.

9. Setelah menerima berita bahwa Djenderal Harto menjiapkan tegenaanval dan Laksamana Omar Dani menawarkan integrasi untuk melawan pada waktu itu, harus disambut baik. Dengan menerima itu maka seluruh kekuatan AURI di seluruh tanah air, akan turut serta. Tetapi karena tidak ada kepertjajaan, bahwa kemenangan harus ditempuh dengan darah, maka tawaran jang sedemikian pentingnja tidak mendapat djawaban jang positip. Pak Omar Dani telah bertindak begitu djauh sehingga telah memerintahkan untuk memasang roket2 pada pesawat.

10. Faktor2 lain jang menjebabkan kematjetan, terletak pada tiadapembagian kerdja. Bila kita ikuti sadja prosedur staf jang lazim digunakan pada tiap2 kesatuan militer, maka semua kesimpang siurandapat diatasi. Seharusnja dilakukan tjara bekerdja sbb:

Pertama, perlu ditentukan siapa komandan jang langsung memimpin aksi (kampanje). Kawan Sjam-kah atau kawan Untung. Kemudian pembantu2nja atau stafnja dibagi. Seorang ditunjuk bertanggung djawab terhadap pekerdjaan intel (penjelidikan/informasi).

Jang kedua, ditundjuk dan bertanggung djawab terhadap persoalan situasi pasukan lawan maupun pasukan sendiri. Dimana, bagaimana bergeraknja pasukan lawan, bila demikian, apakah advisnja tentang pasukan sendiri kepada komandan.

Kawan jang ketiga ditundjuk untuk bertanggung djawab terhadap segala sesuatu jang berhubungan dengan perorangan (personil). Apakah ada jang luka atau gugur, apakah ada pasukan jang absen, apakah ada anggauta jang morilnja merosot. Djuga personil lawan mendjadi persoalannja umpama: soal tawanan, pemeliharaanja, pengamannja dan dsb. Kemudian kepada kawan jang keempat, ditugaskan untuk memikirkan hal2 jang ada sangkut pautnja dan logistik, pembagian sendjata dan amunisi, pakaian, makanan, kendaraan dsb.

Karena menang kalahnja pertempuran pada dewasa ini tergantung djuga pada peranan bantuan Rakjat, maka ditundjuk kawan jang kelima, untuk tugas seperti tersebut di atas. Djadi singkatnja, komandan dibantu oleh staf-1, staf-2, staf-3, staf-4, staf-5. Komandan, bila terlalu sibuk, ia bias menundjuk seorang wakilnja. Selandjutnja tjara bekerdjanja staf, saja rasa tidak ada bedanja dengan prinsip2 pekerdjaan partai, berlaku djuga prinsip sentralisme demokrasi. Staf memberikan pandangan2-nja dan komandan mendengarkan, mengolahnja di dalam fikiran dankemudian menentukan. Berdasarkan keputusan ini staf memberikan directive [perintah] untuk melaksana oleh echelon2 bawahan.

Dengan tjara demikian maka seorang komandan terhindar dari pemikiranjang subjektif. Tetapi djuga terhindar dari suasana jang liberal. Apajang terdjadi pada waktu itu adalah suatu debat, atau diskusi jang langdradig (tak berudjungpangkal), sehingga kita bingung melihatnja, siapa sebetulnja komandan: kawan Sjamkah, kawan Untungkah, kawan Latifkah atau Pak Djojo? Mengenai hal ini perlu ada penindjauan jang lebih mendalam karena letak kegagalan kampanje di ibu kota sebagian besar karena tidak ada pembagian komandan dan kerdja jang wajar.

11. Adalah hal jang remeh, tetapi hal ini perlu mendapat perhatian. Umpamanja, tjara2 diskusi terutama jang banjak dilakukan oleh kawan Latif. Tidak mendahulukan soal2 jang lebih pokok untuk dipetjahkan terlebih dahulu. Soal2 jang masih bias ditunda dibitjarakan kemudian. Di waktu mulut meriam diarahkan kepada kita, maka jang urgen adalah bagaimana tindakan kita untuk membungkam meriam tsb, bukan membitjarakan soal2 lain jang sebetulnja bisa dibitjarakan kemudian.

12. Dengan kehadirannja Bung Karno di Halim, maka persoalan telah mendjadi lain. Pada waktu itu, kita harus tjepat dalam silat politik. Harus tjepat menentukan titik berat strategi kita. Apakah kita berdjalan sendiri, apakah kita berdjalan dengan Bung Karno. Kalau kita merasa mampu, segera tentukan garis djalan sendiri. Kalau kita menurut perhitungan, tidak mampu untuk memenangkan revolusi sendirian, maka harus tjepat pula merangkul Bung Karno, untuk bersama2 menghantjurkan kekuatan lawan. Menurut pendapat saya pada saat2 itu situasi telah berubah dengan keterangan sbb:

1) Bung Karno:
a. Memanggil kabinet dan para Menteri Angkatan.
b. Mengeluarkan surat perintah, kedua fi hak agar tidak bertempur.
c. Memegang sementara pimpinan A.D. dan menundjuk seorang caretaker untuk pekerjaan intern A.D.

2) Omar Dani: Tidak mau kalau harus berhadapan dengan Bung Karno, dan sarannja supaya bersama-sama dengan Bung Karno melanjutkan revolusi.

3) Ibrahim Adji: Mengeluarkan pernjataan, bila terdjadi apa2 terhadap Bung Karno, maka Siliwangi akan bergerak ke Djakarta.

4) M. Sabur: Menilpun RPKAD untuk siap sewaktu2 Bung Karno dalam bahaya.

5) NATO cs: Menolak panggilan Bung Karno untuk hadir di Halim.

6) G-30-S: Kawan Sjam tetap revolusi harus djalan sendiri tanpa Bung Karno. Keadaan Jon Djateng sudah letih dan belum selesai memetjahkan soal bagaimana makan. Keadaan pimpinan dalam keadaan bimbang.

7) “Daerah”: Baru Nusatenggara jang memberikan reaksi, Bandung sepi, Djateng sepi, djuga Djatim sepi. Massa di Djakarta sepi. Daerah2 di seluruh kepulauanIndonesia, pada waktu itu tidak terdengar tjetusan2.

Imbangan Pertimbangan:

- Bila kita teruskan berevolusi sendiri, maka kita akan berhadapan dengan Bung Karno + Nato cs dengan Angkatan Daratnja.

- Bila kita rangkul Bung Karno, maka kontradiksi pokok akan beralih di satu fihak golongan kiri + golongan Demokratis Revolusioner dan di lain fi hak hanja golongan kanan sadja.

Tetapi dari kita tidak ada ketentuan garis mana jang harus ditempuh. Dan sementara itu pun waktu berlalu terus, dan perkembangan semakin kongkrit.

Nato menjusun kekuatannja, Bung Karno mengumpulkan anggota kabinetnja jang diperlukan.
Pada saat itu sebetulnja situasipun belum terlalu terlambat. Ada tjelah2 di mana segara harus kita masuki dalam persoalan menundjukan siapa jang mengganti Pangad. Bung Karno minta tjalon dari kita.

Dari fihak Bung Karno mentjalonkan:
1) Ibrahim Adji dan 
2) Mursid.

Dari fihak kita mentjalonkan Rukman, Pranoto dan Basuki Rachmat. Achirnja disetudjui Pranoto. Seharusnja kita serahkan sadja kepada Bung Karno. Dengan demikian kita tidak meminta terlalu banjak. Dan Bung Karno ada kekuatan dalam menjelesaikan masalah intern A.D. dan dapat menghalang-halangi glundungnja aksi2 Nato cs.

Tetapi walaupun demikian, bila Pak Pranoto waktu itu tjekatan dan dapat menggunakan wewenang, maka situasi tidak seburuk ini. Seharusnja dengan surat keputusan itu, ia tjepat pidato di radio dan umumkan pengangkatannja. Tindakan kedua supaja kedua fi hak menanti perintah2 tidak saling bertempur. Pak Pran harus djuga menjusun kekuatan brigade2 di sekitarnja dan langsung ia pimpin.

Dengan demikian maka langkah2 selandjutnja akan mempunjai kekuatan. Kemudian segera diisi dengan dalih2 sementara lowongan staf SUAD jang kosong. Sajang sekali kesempatan jang terachir ini tidak dipergunakan. Pak Pranoto achirnja setelah terlambat mulai berpidato di radio. Itu pun atas desakan saja melalui kawan Endang. Tetapi isi pidatonja pun tidak karuan malah mengutuk G-30-S sebagai gerakan petualangan. Kata2 ini otomatis melumpuhkan perangsang2 revolusi di daerah2 terutama di Djateng.

Idee seperti jang dilukiskan diatas, yaitu idee merangkul Bung Karno bukan semata-mata fi kiran kompromi jang negatip, tetapi sesuatu “om te redden wat er te redden valt,” membela apa jang masih dapat dibela. Andaikata kalah, harus ada pertanggung djawab, maka hanja pelaksana2 G-30-S sadjalah jang tampil mempertanggung djawabkannja, sehingga keutuhan Partai tidak terganggu. Taktik tersebut diatas tidak lain bila kita mengetahui akan mendapatkan hanja kulitnja telur sadja, maka lebih baikmendapatkan isinja, walaupun hanja separuh sadja (beter een halve eidan een lege dop).

13. Achirnja Nato cs memegang inisiatip dan tidak menghiraukan apa2 dan memulai dengan tegen off ensifnja. Kekuatan militer G-30-S mereka kedjar dan kesempatan jang lama mereka tunggu2 tidak disiasiakan, yaitu: mengobrak-abrik PKI.

14. Sementara itu semua slagorde G-30-S berkumpul di LB. Disana sini mulai terdengar tembakan dari RPKAD jang mulai mentjari kontak tembak. Kawan Sjam dan Kawan Untung cs, mulai rapat tentang menentukan sikap hadir di tempat tsb.

Komandan Jon Djateng dan seluruh anggota Bataljonnja. Komandan Bataljon Djatim djuga hadir tanpa pasukan. Kurang lebih seribu limaratus Sukwan jang dilatih di LB. Melihat situasi jang gawat ini tidak ada pilihan lain:

a) Bertempur mati2-an atau,
b) tjepat menghilang menjelamatkan diri.

Diskusi berdjalan lama tanpa keputusan. Achirnja kami sarankan agar seluruh komando diserahkan kepada kami dan nanti bila situasi telah dapat diatasi wewenang akan diserahkan kembali kepada kawan Untung. Kawan Untung tidak setudju, karena bertempur terus pendapatnja sudah tidak ada dasar politiknja lagi.

Apa jang di maksud dengan kata2nja itu, kami tidak begitu mengerti. Di lain fihak kawan Sjam tidak memberikan reaksi atas usul kami. Kemudian saja desak lagi supaja segera mengambil keputusan, bila terlambat nanti, maka kita terdjepit dalam suatu sudut di mana tidak ada pilihan lain, melawan pun hantjur dan lari pun hantjur. Karena posisi kita pada waktu sudah labil.

Kemudian rapat memutuskan memberhentikan perlawanan dan setiap kawan diperintahkan kembali ketempat asal mereka masing2, dalam keadan jang serba lambat ini kemudian kami ambil inisiatip untuk menjelamatkan kawan pimpinan (Kawan Sjam) dan masuk ke kota Djakarta (Senen). Kawan Untung dalam tjara membubarkan pasukannja pun melakukan kesalahan, seharusnja ia sebagai komandan langsung harus memberi petundjuk teknis bagaimana pelaksanaan menjebar dan menjusup kembali. Karena di LB banjak kawan2 Sukwan jang berasal dari luar kota Djakarta, bahkan ada jang dari Djateng. Mereka tentunja merasa asing dan tidak tahu djalan. Karena peraturannja: “pur manuk” sadja atau dilepaskan sekehendak masing2 maka banjak jang tertawan dan mendjadi mangsa penjiksaan pasukan2 Nato cs.

15. Pada hari ketiga dan keempat, kami menjarankan kepada pimpinan untuk tampil kemuka mendampingi Bung Karno untuk mentjoba menolong apa jang perlu ditolong. Pada saat itu, situasi belum sama sekali hantjur. Kabinet di mana terdapat orang2 revolusioner masih tetapi, usul kami di-tunda2 sehingga surat kami kepada Bung Karno baru diterima satu bulan kemudian. Bung Karno dalam kedudukan jang sudah terdjepit, mungkin djuga chawatir, bila sadja dekat2 padanja.

16. Demikianlah proses aksi “G-30-S” dari sukses berubah terdesak dan semakin terdesak sehingga achirnja tidak berdaja dan menjerahkan, segala inisiatip kepada fihak lawan.

17. Sebagai kesimpulan umum, maka kami berpendapat bahwa:

a. Kita telah melakukan suatu politiek strategisch verassing (serangan tiba2) [strategi politik serangan mendadak] jang dapat dipergunakan oleh propaganda lawan sehingga memberikan kepada PKI suatu kedudukan jang terpentjil.

b. Rentjana semula jang akan dilakukan: Revolusi bertingkat tiba2 dirobah mendjadi gerakan PKI seluruhnja. Bila gerakan dilakukan bertingkat, ja’ni taraf pertama hanja terbatas gerakan di dalam tubuh AD dengan tehnisnja sbb:

Setelah berhasil merebut pimpinan AD maka mulai mengganti para Panglima dan para Komandan jang mempunjai fungsi potensiil dengan unsur2, atau perwira2 demokratis revolusioner.

Kemudian dalam taraf kedua baru revolusi jang dipimpin oleh Partai. Dimulai dengan gerakan2 massa jang dibajangi oleh militer2 jang progresip, persis seperti jang dilakukan oleh lawan terhadap Pemerintah sekarang. Bila rentjana revolusi bertingkat ini ditempuh, maka keuntungannja adalah sbb: Andaikata kita dipukul, maka Partai jang tetap mempunjai legalitet dan utuh dapat melindungi kawan2 militer.

Bila aksi taraf pertama berhasil, maka suatu pidjakan jang baik untuk melontjat ke taraf revolusi berikutnja. Menurut hemat kami, kegagalan revolusi kita kali ini disebabkan di antaranja, dipindahkannja rentjana operasijang semula bersifat intern AD, mendjadi operasi jang langsung dipimpin oleh Partai, sehingga menjebabkan terseretnja Partai dan diobrak-abriknja Partai.

c. Bidang persiapan: Gerakan 30 September dilakukan tanpa melalui proses persiapan jang teliti. Terlalu mempertjajai laporan2 dari kader2 bawahan. Seharusnja dalam keadan bagaimanapun pimpinan harus memeriksa dengan mata kepala sendiri tentang persiapannja, Komandan harus hadir menjaksikan 3 markas sektor, meskipun untuk beberapa menit sadja supaja ia bahwa semua pos2 telah terisi.

Begitu pula persiapan2 lainnja. Sudah mendjadi kebiasaan di dalam ketentaraan dimanapun, melakukan pemeriksaan barisan sebelum ia bertugas. Misalnja ada satu regu hendak patroli, maka komandan peleton melihat regu itu, memeriksa alat2 perlengkapannja regu itu, persediaan pelurunja, menanjakan apakah perintah2-nja telah dimengerti dan baru regu itu bisa berangkat patroli. Apalagi/seharusnja G-30-S, suatu gerakan jang menentukan djutaan nasib rakjat. Gerakan jang bukan sadja bernilai nasional tetapi djuga mendjadi harapan kaum proletar seluruh dunia. Seharusnja kita djangan bertindak dengan gegabah.

d. Dalam saat2 jang kritis, pimpinan operasi harus terdjun di tengah pasukan, menjemangati anak buah supaja mereka bangkit melawan, meskipun dengan resiko hantjur semua. Bila sampai terdjadi, hantjur tidak apa2, kawan2 jang masih hidup akan melandjutkan usaha revolusi. Dan kalau kita bertindak demikian besar kemungkinan lawanlah jang akan angkat tangan, karena pada saat2 itu Nato belum mempunjai grip [cengkeraman] terhadap TNI jang ada di kota. Suasana di mana2 belum mengutuk G-30-S. Dalam tiap2 perang revolusioner, seorang pemimpin harus sanggup membangkitkan di kalangan pengikutnja:

1. Djiwa kepahlawanan.
2. Kebulatan pikiran dan tekad.
3. Semangat berkorban.

e. Ada hal jang perlu dipelajari setjara mendalam. Kawan2 jang selama ini hidup di organisasi tentara bordjuis, sangat sulit dan mirip tidak sampai hati untuk mendahului teman2 seangkatannja. Hal ini terdjadi djuga pada bataljon jang berasal dari Djateng,dan djuga pada peristiwa jang kami dengar kemudian, waktu menghadapi Pangdam Surjosumpeno. Mungkin letaknja pada kelemahan pandangan ideologi, kelemahan dalam pandangan kelas. Adjaran Marxisme- Leninisme bahwa “Kalau tidak mereka jang kita basmi, maka merekalah jang akan membasmi kita.”Belum meresap, dan belum mendjadi keyakinan kawan2 di ABRI pada umumnja. Dari pengalaman ini maka pendidikan ideologi dan kesadaran pandangan kelas perlu mendjadi program Partai.

f. Strategi jang dianut dalam gerakan keseluruhan adalah sematjam strategi: “Bakar Petasan.” Tjukup sumbunja dibakar di Djakarta dan selandjutnja mengharap dengan sendirinja bahwa meretjonnja akan meledak di daerah2. Ternjata tjara ini tidak berhasil. Ada dua sebab:

Mungkin sumbunja kurang lama membakar atau mesiu jang ada dalam tubuh meretjon itu sendiri dalam keadaan masih basah, kami hubungkan ini dengan pekerdjaan2 di waktu jang lampau, tjara2 menarik kesimpulan tentang kawan2 jang di ABRI dan massa adalah subjektif.

Dari pengalaman ini kita harus bikin kebiasaan membesar2-kan situasi jang sebenarnja. Biasanja kalau ada 10 orang sadja dalam satu peleton jang sudah dapat kita hubungi, dilaporkan bahwa seluruh peletonnja sudah kita (kawan). Kalau ada seorang Dan Jon jang kita hubungi, maka ada kemungkinan bahwa seluruh Bataljon itu sudah kawan.

Kekeliruan strategi G-30-S itu disebabkan djuga banjak kawan2 dari ABRI maupun dari
daerah2 jang melaporkan bahwa massa sudah tidak dapat ditahan lagi. Bila pimpinan tidak mengambil sikap, maka rakjat akan djalan sendiri (ber-revolusi). Mengikuti suara2 jangbelum diperiksa kebenarannja berarti kita kena “agitasi” massa,sama halnja tidak mendjalankan “garis mangsa setjara tepat.”

g. Melihat kemampuan dan kebesaran organisasi Partai di waktu2 jang lalu maka asalkan sadja kita taktis menggerakannja, kami rasa PKI tidak perlu kalah. Saja ibaratkan seorang pemasak jang mempunjai bumbu, sayur2 jang serba tjukup, tetapi kalau tidak pandai menilai temperatur dari panasnja minjak, besarnja api, bilamana bumbu2 itu ditjemplungkan dan mana jang didahulukan dimasak maka masakan itu pun tidak akan enak, satu tjontoh misalnja.

Kami membawahi 18 Bataljon, 3 diantaranja bisa dikerahkan untuk tugas2 revolusi, dan sudah dipersiapkan lengkap dengan pesawat angkutan Herculesberkat solidaritas dari kawan2 perwira di AD, jang mempunjai kedudukan komando, tetapi semua ini tidak dimanfaatkan, sehingga bukan kita jang menghantjurkan lawan “satu demisatu”, tetapi sebaliknja kita jang di hantjurkan setjara “satu dem isatu.”

Sekian, dan kami tutup dengan sembojan : Sekali gagal, akan bertambah.
Madju terus pada djalan pengrevolusioneran!

*Sumber : Sepenuhnya dari buku John Rossa " Dalih Pembunuhan Massal : Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto"

No comments:

Post a Comment