Monday, November 15, 2010

GERAKAN TENTARA RAKYAT 11 OKTOBER 1949

7 Mei 1949, Republik dan Pemerintah Belanda sekali lagi menandatangani perjanjian, Perjanjian Rum - Van Royen. Di bawah tekanan berat dari Amerika, Belanda mempersiapkan waktu ini untuk bernegosiasi serius dan ini adalah awal dari perkembangan menuju transfer resmi kekuasaan.

Tanggal 3 Agustus 1949 dua Kepala Pemerintahan secara bersamaan mengumumkan berakhirnya tembak menembak antara Indonesia dan Belanda yang pelaksanaannya dimulai tengah malam tanggal 10-11 Agustus 1949 untuk Pulau Jawa dan tanggal 14-15 Agustus 1949 untuk Pulau Sumatera. Tidak lama sesudah penghentian tembak-menembak dilaksanakan, yakni tanggal 22 Agustus 1949, dimulai KMB di Den Hag yang berlangsung hingga tanggal 2 Nopember 1949. Kedua peristiwa itu merupakan kelanjutan pelaksanaan dari Perjanjian Roem- Van Royen.

Keputusan mengadakan gencatan senjata dengan pihak Belanda , melalui perjanjian Roem – van Royen ini ternyata tidak sepenuhnya disetujui oleh unsur- unsur di dalam republik. Ketidakpercyaan pada pihak Belanda , yang tidak pernah mengakui Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah alasan yang diajukan kaum republican penentang persetujuan, mereka menyatakan bahwa perjanjian tidak akan membuat Indonesia Merdeka 100%, maka jalan perang mempertahankan proklamasi kemerdekaan adalah jalan terbaik yang mesti ditempuh.

Adalah Barisan Bambu Runcing dibawah pimpinan Chaerul Saleh yang paling getol menentang perjanjian dengan Belanda .Barisan Bambu Runcing, sebanyak satu divisi dibentuk di Jawa Barat pasca Agresi Militer Belanda I dibawah pimpinan Sutan Akbar. Sutan Akbar membagi Divisi ini menjadi lima brigade untuk Banten, Bogor, Jakarta, Priangan, dan Cirebon. Ketidak setujuan Chaerul Saleh akan perjanjian Roem- Van Royen itu pada akhirnya membuatnya pecah kongsi dengan Mayor Sambas Adiwinata, dimana mereka sama-sama duduk dalam staf Gabungan Gerilya Jakarta Timur.

Karena perbedaan pendapat tentang gencatan senjata, serta banyak orang mengikuti perkembangan Republik ini dengan ketidakpercayaan mendalam, dan fakta bahwa Tan Malaka telah dibunuh oleh pasukan republik di Februari 1949. Chaerul Saleh memutuskan untuk memimpin pasukan dari unit Kerawang dan Cikampek untuk menyingkir ke daerah cibinong, bogor. Dalam perjalanan ini bergabung barisan Bambu Runcing Brigade Bogor dibawah pimpinan Muhidin Nasution. pasukan yang beranggotakan sekitar 400 orang itu bergerak lagi kearah barat menuju Cibaliung (Banten Selatan) melalui Lebak Selatan, disini bergabung juga unit Banten dibawah pimpinan Achmad Chatib dan Muhammad Khusnun.

Pada tanggal 11 Oktober 1949, sejumlah 24 orang diantaranya Chaerul Saleh, Jaro Karis, Muhidin Nasution dan Achmad Chatib menyatakan dirinya sebagai “RAKYAT BERJUANG” dan mendeklarasikan berdirinya “TENTARA RAKYAT”. deklarasi mereka berbunyi sebagai berikut:

"... ... .. Pada tanggal 15 Agustus, bangsa Indonesia akan kekuatan mereka pada para pemimpin Nasional Sukarno dan Hatta, kepada siapa mereka mempercayakan deklarasi kebebasan masyarakat Indonesia dalam bentuk proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun dalam perjalanan perjuangan yang diikuti masyarakat Indonesia telah mengalami kesedihan dan kepahitan.

Pada akhirnya harus dikatakan bahwa nasib, kepentingan dan kebutuhan masyarakat Indonesia tidak bisa lagi dipercayakan kepada para pemimpin lemah yang kurang percaya diri pada kekuatan rakyat sendiri. Orang-orang dalam perjuangan telah menyadari bahwa mereka tidak dapat bergantung pada siapa pun kecuali diri mereka sendiri untuk mempertahankan dan menjamin prinsip-prinsip dan kepentingan mereka .... "

mereka menilai Pimpinan Nasional. Soekarno-Hatta tidak memberikan tuntutan, tidak tegas dan tidak teguh yang mengaikbatkan rakyat Indonesia terancam dan menuju kehancuran. Mereka menilai bahwa persetujuan Linggarjati, Persetujuan Renville dan Persetujuan Roem Royen membawa rakyat Indonesia ke penderitaan dan kehinaan. Mereka tidak setuju dengan genjatan senjata.

Peristiwa-peristiwa tersebut meyakinkan mereka untuk tidak membiarkan kemerdekaan itu menuju ke keadaan seperti itu. Mereka tidak lagi percaya sepenuhnya kepada para pimpinan yang mereka nilai lemah dan tidak mempunyai keyakinan untuk memperjuangkan nasib, kepentingan dan kebutuhan hidup rakyat Indonesia.

Mereka yakin bahwa tidak ada golongan dan pimpinan yang sanggup membela dan menjamin cita-cita, nasib, kepentingan dan kebutuhan Rakyat Indonesia kecuali rakyat itu sendiri yang berjuang dengan segala kesanggupannya. Untuk itu, mereka mendeklarasikan berdirinya “Tentara Rakyat” yang akan menuntun, membela dan menjamin cita-cita, nasib, kepentingan dan kebutuhan hidup Rakyat Indonesia. Dinyatakan bahwa “Tentara Rakyat” tidak akan meletakan senjata sebelum semua yang diinginkan rakyat Indonesia tercapai dan terjamin sepanjang masa. Deklarasi itu disebarluaskan ke berbagai tempat, antara lain kepada para pemimpin terkemuka.

Setelah lahir “Tentara Rakyat”, Central Komando Harian “Tentara Rakyat” mengeluarkan dua buah Maklumat dan sebuah Program Perjuangan “Tentara Rakyat”.

Maklumat pertama yang dikeluarkan tanggal 11 Oktober 1949 antara lain “Tentara Rakyat” berjuang untuk :

  1. Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945;
  2. Menghapuskan peraturan-peraturan yang menekan dan menindas rakyat, pedagang maupun petani dalam menjalankan usahanya;
  3. Mengajak keseluruh lapisan masyarakat, terutama pemuda untuk bekerja sama dengan “Tentara Rakyat serta berjuang untuk melawan Belanda diseluruh Indonesia.

Maklumat kedua yang dikeluarkan tanggal 13 Oktober 1949 menyatakan :

  1. Seluruh lapisan masyarakat diminta supaya tetap tenang dan terus bekerja;
  2. Semua peraturan yang dikeluarkan TNI didaerah Banten tidak berlaku;
  3. Bagi siapa saja yang mengacau atau menyiarkan provokasi yang menggelisahkan masyarakat, diancam  dengan hukuman seberat-beratnya sesuai dengan hukum “Tentara Rakyat”
  4. Seluruh lapisan masyarakat, terutama pemudanya, agar tetap berorganisasi untuk melanjutkan perlawanan terhadap Belanda dan merebut kembali kemerdekaan negara dan Bangsa Indonesia yang telah  diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.

Terakhir, Program Perjuangan “Tentara Rakyat” yang dikeluarkan tanggal 13 Oktober 1949 meliputi empat bidang yaitu Bidang Politik, ekonomi, sosial dan Militer.
Program Politik antara lain :

  1. Membatalkan semua perjanjian dengan Belanda, seperti Perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renville dan Perjanjian Roem Van Rojen;
  2. Menghentikan dan membatalkan KMB dengan segala hasilnya;
  3. Menarik den membatalkan Manifest Pemerintah RI tanggal 1 Nopember 1945.

Program di Bidang Ekonomi antara lain menjalankan ekonomi sesuai dengan perjuangan anti imperialisme sebagaimana tercantum didalam pasal 33 ayat (1) UUD 1945.

Program di Bidang Sosial antara lain menjamin kesempatan untuk menuntut ilmu bagi setiap warga negara. Program di Bidang Militer adalah membentuk dan menyusun “Tentara Rakyat diseluruh Indonesia.

Keempat dokumen tersebut ditandatangani oleh Chaerul Saleh sebagai Panglima Central Komando Harian “Tentara Rakyat” dan Muhidin Nasution sebagai Kepala Staf Central Komando Harian “Tentara Rakyat”. serta Residen Banten KH. Achmad Khatib sebagai Pimpinan Umum Cenral Komando Harian “Tentara Rakyat”.

Mengetahui deklarasi ini, TNI dengan menggunakan Brigade Tirtayasa dibawah pimpinan Letnan I Djambar Wardhana segera melakukan pengejaran dan penghancuran. Tentara Siliwangi dari luar Banten didatangkan kesana untuk membantu usaha itu. Beberapa kali terjadi pertempuran, daerah yang sebelumnya diduduki oleh “Tentara Rakyat” dapat dikuasai kembali oleh TNI. Setelah pasukan “Tentara Rakyat” terdesak mundur dari Cibaliung ke Gunung Honje, dekat Semenanjung Ujung Kulon, pertempuran terjadi lagi. Kekuatan mereka diperkirakan tinggal beberapa ratus orang karena banyak diantara mereka, sekitar 200 orang, telah ditangkap atau menyerah kepada TNI. Pasukan Brigade Tirtayasa antara lain dibantu dua kompi pasukan dari Batalyon pimpinan Kosasih dari Brigade Suryakencana, Sukabumi.

Dalam pertempuran itu, pasukan “Tentara Rakyat” terpencar. Sebagian besar mundur ke hutan Semenanjung Ujung Kulon. Diduga sebagian naik perahu dan sebagian lain berjalan kaki melalui hutan-hutan menuju daerah tetangga di sebelah timur. Dalam pertempuran itu, Chaerul Saleh tidak ada disana, ia selamat. Pada tanggal 4 Nopember 1949, ia pergi ke Balaraja dan dari sana menerukan perjalanan ke Jakarta. Namun, ia akhirnya tertangkap dan ditahan di Rumah Penjara Banceuy, Bandung. Perkaranya oleh Jaksa Tentara di Bandung disampaikan ke Pengadilan Negeri di Banten karena ia tersangkut kriminal di daerah Banten. Tahun 1950 Chaerul Saleh dibebaskan dari Penjara. Kemudian ia menjalani pengasingan selama beberapa tahun di Jerman Barat.

Sementara terjadi pengejaran dan penghancuran terhadap pasukan “Tentara Rakyat”, Residen Akhmad Khatib ditangkap kemudian dibawa ke Kadukacang, Cibaliung tempat Staf Komando Brigade Tirtayasa berada. Pada tanggal 30 Nopember 1949, atas panggilan Staf Divisi Siliwangi, melalui Jakarta ia pergi ke Markas Divisi Siliwangi didaerah Sumedang. Pemanggilan itu diduga ada hubungannya dengan pasukan “Tentara Rakyat”Setelah pemanggilan itu, Akhmad Khatib ditarik dari Banten dan tenaganya diperbantukan pada Gubernur Jawa Barat. Untuk mengisi kekosongan jabatan Residen untuk sementara diangkat M. Kufrawi dari Surabaya sebagai Acting Residen Banten.

Tentang Chaerul Saleh

Chaerul Saleh lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat tahun 1916 merupakan putra tertua dari dr.Achmad Saleh. Ia menempuh pendidikan ELS di Medan dan Bukittinggi, sesudah HBS di Medan. Pada tahun 1934 ia masuk Sekolah Normal III di Jakarta kemudian masuk Sekolah Tinggi Hukum. Di bidang organisasi tahun 1937 ia masuk Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), organisasi mahasiswa yang radikal kemudian menjadi ketuanya. Pada tahun 1940, ia menikah dengan putri I.Datuk Tumenggung seorang aristokrat Minangkabau. Pada zaman pendudukan Jepang selain bekerja di Sendebu (Badan Propaganda Jepang) ia juga memimpin Badan Permusyaratan Pelajar Indonesia (Baperpi) yang didirikan untuk membantu mahasiswa-mahasiswa yang kandas dan tidak ada biaya. Ia masuk menjadi anggota Angkatan Muda Indonesia yang dibentuk Jepang, kemudian berbalik menjadi anti Jepang dan bertujuan Indonesia Merdeka. Ia bersama Wikana, Sukarni dan pemuda lainnya dari Menteng 31 yang menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok agar kedua tokoh ini segera menyiarkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia setelah kekalahan Jepang dari Sekutu pada tahun 1945.

Setelah Indonesia merdeka, ia menjadi tokoh penting pemuda dan menjadi pengikut Tan Malaka. Ia hadir dalam penyusunan teks Proklamasi mewakili pemuda. Atas undangan PPKI, ia juga hadir dalam rapat Panitia itu pada tanggal 18 Agustus 1945 pada tanggal 1 September 1945 yang bermarkas di Menteng Raya 31, Jakarta ia terpilih sebagai wakil ketua. Dalam kongres pemuda di Yogyakarta pada tanggal 10 Nopember 1945 yang membentuk Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI) ia terpilih sebagai Pemimpin Umum Dewan Pimpinan Pusat.

Chairul Saleh bersatu dalam kelompok Persatuan Perjuangan yang dibentuk di Purwokerto pada tanggal 4-5 Januari 1946 atas prakarsa Tan Malaka. Semula bernama Volksfront. Pada tanggal 15-16 Januari 1946 dibentuk Badan tetap bernama Persatuan Perjuangan (PP). Program minimum PP adalah menolak perundingan tanpa dasar pengakuan kemerdekaan 100%. PP didukung oleh semua ormas termasuk KNIP.

Di dalam sidang KNIP di Solo, 28 Februari - 2 Maret 1946, sidang KNIP menolak kebijakan Perdana Menteri Syahrir yang cenderung berunding dengan Belanda dengan hasil yang merugikan Indonesia. Kabinet Syahrir jatuh, tetapi Soekarno menunjuk kembali Syahrir sebagai perdana menteri (Kabinet Syahrir II) padahal Persatuan Perjuangan mengharapkan Tan Malaka sebagai perdana menteri. Permintaan Adam Malik agar mandat diserahkan ke Tan Malaka ditolak Soekarno.

Kabinet Syahrir II dibentuk 12 Maret 1946 yang mengkompromikan pendapat Persatuan Perjuangan dengan Syahrir. Tetapi Persatuan Perjuangan tetap beroposisi. 17 Maret 1946, tokoh politik, terutama dari Persatuan Perjuangan ditangkap antara lain Tan Malaka, Sukarni, ABikusno Cokrosuyoso, Chairul Saleh, M. Yamin, Suprapto dan Wondoamiseno.4 Juni 1946 PP dibubarkan, tetapi pengikut Tan Malaka tetap meneruskan oposisi. Tanggal 26 Juni 1946 pengikut Tan Malaka menculik Syahrir. Tanggal 3 Juli 1946 memaksa Soekarno membentuk pemerintahan sesuai konsep mereka. Namun Soekarno tetap menunjuk Syahrir sebagai perdana menteri. 2 Oktober 1946 Kabinet Syahrir III dilantik.

Kabinet Syahrir mengadakan Perjanjian Linggarjati di selatan Cirebon pada tanggal 10 Nopember 1946. Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Wanita, Angkatan Comunis Muda (ACOMA), Partai Rakyat Indonesia, Laskar Rakyat Jawa Barat, Partai Rakyat Jelata menolak. PKI, Pesindo, BTI, Lasykar Rakyat, Partai Buruh, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik mendukung. Dewan Pusat Kongres Pemuda tidak menyatakan pendapat untuk menjaga anggota mereka yang berbentuk federasi.

27 Juni 1947 Syahrir mengundurkan diri dan digantikan Amir Syarifuddin 3 Juli 1947. Kabinet Amir jatuh karena mengadakan perjanjian Renville. 23 Januari 1948 Amir menyerahkan mandatnya. 31 Januari 1948 Kabinet Hatta diumumkan. Hatta berusaha menampung koalisi Nasasos. Sayap kiri ditawarkan tiga kursi, tetapi mereka menuntut 4 kursi termasuk menteri pertahanan. Hatta menolak dan akhirnya cuma memberikan satu kursi kepada sayap kiri yakni Supeno atas nama perorangan sebagai menteri pembangunan dan pemuda. Sisanya oleh Masyumi, PNI, Parkindo dan Partai Katolik. Amir Syarifuddin beroposisi dengan membentuk FDR. FDR mengadakan pemogokan Delanggu. Saat itu Solo di bawah Divisi IV Panembahan Senopati dipimpin Kolonel Sutarto. Di Solo ada pasukan pro FDR yakni Laskar Pesindo, Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI) pimpinan Letkol Jadau, Laskar Buruh, Laskar Minyak dan lain-lain. Gerakan anti FDR antara lain Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) dipimpin Dr. Muwardi. 2 Juli 1948 terjadi pembunuhan Kolonel Sutarto. Pihak Panembahan Senopati menuduh anggota Siliwangi pelakunya. TLRI Jadau akhirnya menyerang Batalion Rukman (Siliwangi) di Tasikmadu. Serangan gagal. Menghindari bentrokan, Batalion Rukman kembali melewati garis demarkasi. Untuk mengimbangi FDR, Soekarno melepaskan Tan Malaka 3 Juli 1948.

Gerakan Rakyat Revolusioner didirikan pengikut Tan Malaka yang bebas pada tanggal 6 Juni 1948 dengan pimpinan Dr. Muwardi (Ketua), Syamsu Harya Udaya (Wakil Ketua) dan Chairul Saleh (sekretaris). GRR dan FDR memiliki kesamaan ideologi, tetapi FDR berorientasi Moskow, GRR berorientasi nasional. Awal September, dua orang tokoh PKI diculik, kemudian Letkol Suherman, perwira TNI masyarakat diculik. Seorang mayor yang ditugasi mencari Suherman diculik. Pihak Panembahan Senopati menuduh Siliwangi yang melakukan. Letkol Suardi, pengganti Sutarto menuntut Siliwangi mengembalikan yang diculik.

13 September 1948, Dr Muwardi diculik dan dibunuh PKI. Pecah perang antara Barisan Banteng (pro GRR) dengan Pesindo (FDR). 17 September Kolonel Gatot Subroto ditunjuk menjadi Gubernur Militer Surakarta, Madiun, Semarang dan sekitarnya. Perintah Gatot untuk menghentikan tembak menembak 18 September 1948 tidak efektif karena di Madiun PKI memberontak dipimpin Muso.

Setelah PKI ditumpas, GRR mengadakan move politik. M. Yamin menganjurkan membentuk pemerintahan atas dasar triple platform, agama, nasionalis dan sosialis untuk memperoleh tenaga rakyat. GRR kemudian berkonsolidasi. 3 Oktober 1948, GRR dengan partai sehaluan yakni Partai Rakyat, Partai Rakyat Djelata, Partai buruh merdeka, Angkatan Comunis Muda (ACOMA) dan Wanita Rakyat berfusi menjadi Murba.

Di dalam tubuh Murba kemudian terjadi perdebatan apakah menjadi partai kader atau partai massa. Sebelum Agresi Militer Belanda II Desember 1948 mereka bergerilya, Chairul Saleh dengan Barisan Bambu Runcing di Jawa Barat, Sukarni dan kawan-kawan di Yogya dan Jawa Tengah, Tan Malaka bergabung dengan batalion Mayor Sabaruddin di Jawa Timur. Setelah Tan Malaka tewas, Chairul Saleh adalah salah satu tokoh Murba di samping Iwa Kusumasumantri, Chairul Saleh, Adam Malik, Sukarni dan Prijono. Walaupun didirikan pemuda bersemangat, dalam organisasi kurang andal. Kisah dan nama Tan Malaka menjadi legenda, tetapi pemikirannya tidak dijabarkan dalam bentuk aksi. Mesin (pengkaderan) partai di berbagai sektor tidak jalan. Partai tidak memiliki penerbitan serius, kecuali Pembela Proklamasi yang terbit 20 edisi. Upaya mendekatkan Murba dengan PKI seperti dirintis Ibnu Parna dari Acoma (Angkatan Communis Muda) ditolak elite PKI. M.H. Lukman menulis ”Tan Malaka Pengkhianat Marxisme-Leninisme” (Bintang Merah, 15 November 1950).

Pemilu 1955 adalah pengalaman pahit sekaligus kehancuran partai (yang kemudian tidak pernah bangkit lagi). Murba hanya beroleh 2 dari 257 kursi yang diperebutkan. Dalam pemilu selanjutnya partai ini bahkan tak berhasil masuk parlemen.
Demokrasi terpimpin memberikan peluang bagi Murba. Soekarno menjadikannya penyeimbang posisi PKI. Kongres Murba kelima, Desember 1959, dihadiri Presiden. Chaerul Saleh dan Prijono masuk kabinet, Adam Malik dan Sukarni menjadi Duta Besar di Moskow dan Beijing. Puncaknya, Tan Malaka diangkat menjadi pahlawan nasional pada 1963.

Pertentangan antara Murba dan PKI menajam. Ketika PKI semakin kuat, Murba bekerja sama dengan militer dan pihak lain menjegal dengan membentuk Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). Namun BPS dibubarkan Bung Karno. Sukarni dan Syamsudin Chan ditahan pada awal 1965. Murba dibekukan dan kemudian dibubarkan pada September 1965 karena dituduh menerima uang US$ 100 juta dari CIA untuk menggulingkan Presiden. Pada 17 Oktober 1966 Soekarno merehabilitasi partai Murba melalui Keputusan Presiden Nomor 223 Tahun 1966.

Jabatan yang pernah diduduki oleh Chaerul Saleh adalah:

Menteri Negara Urusan Veteran, Kabinet Djuanda (1957)
Menteri Muda Perindustrian Dasar dan Pertambangan, Kabinet Kerja I (1959-1960)
Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan, Kabinet Kerja II dan Kabinet Kerja III (1960-1963)
Wakil Perdana Menteri III, Kabinet Kerja IV dan Kabinet Dwikora I (1963-1966)
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (1960-1965)

Setelah peristiwa G30S, Chaerul Saleh ditahan oleh pemerintah Indonesia dan meninggal pada tahun 1967 dengan status tahanan. Tidak pernah ada penjelasan resmi dari pemerintah mengenai alasan penahanannya.

Sumber:
- Robert Cribb, Para Jago dan kaum revolusioner jakarta
- Purwaningsih, Pergolakan sosial politik di serang 1945,
   kasus gerakan aksi daulat Tje Mamat
- Irna H.N. Hadisuwito, Chaerul Saleh Tokoh Kontroversial

No comments:

Post a Comment