Tuesday, September 7, 2010

REVOLUSI INDONESIA

Note ini diambil dari buku CAPITA SELECTA 2, buku yang berisi kumpulan pidato dan tulisan NATSIR medio 1950-1955

Keragaman hidup !
Kemerdekaan beragama!
Kesatuan bangsa !

Kita perjuangkan Negara, kita letuskan Revolusi pada 17 Agustus 1945. Tetapi perjuangan kemerdekaan bukan dimulai pada 17 Agustus 1945 itu.

Perjuangan mengadu tenaga politik dengan politik, antara rakyat Indonesia dengan pemerintah kolonial Belanda sudah berumur lebih dari 9 tahun itu. Didalam rangkaian politik, perjuangan itu telah dimulai semenjak tahun 1905, dengan berdirinya Serikat Dagang Islam, oleh Haji Samanhudi dan kawan2-nja. Serikat Dagang Islam diiringi oleh „Boedi Oetomo" (1908). Pada tahun 1912 berdirilah Partai Serikat Islam, sebagai satu organisasi massa yang pertama kali. Itulah saatnya kita mulai mengadu tenaga politik dengan penjajah dengan mengumpulkan tenaga politik dari rakyat umum.


Adapun perjuangan memerdekakan Indonesia, atau sekurang2nya mempertahankan diri dari penjajahan, sebenarnya sudah lebih dahulu dari pada itu.

Dengan semangat pengurbanan yang besar, yang tidak padam2nya, tercatatlah nama pahlawan2 sebagai Sultan Hasanuddin, Teungku Tjhik di Tiro, Imam Bondjol, Diponegoro, Sultan Hidajat dan lain2.

Kita mengetahui bahwa pada beberapa daerah baru dipenghabisan abad 19 atau dipermulaan abad 20, senjata si penjajah dapat menaklukkan perlawanan rakyat kita. Beberapa bagian dari Tanah Air kita, seperti di Sulawesi, di Sumatera dan lain2, rupanya tidaklah begitu lekas rakyat meletakkan senjata perlawanannya. Mereka insaf akan kelemahan dirinya dalam soal2 senjata dan kekuatan materiil, tetapi mereka mempunyai senjata yang tak materiil, senjata — immateriil — kata orang sekarang, yaitu senjata keyakinan dan keteguhan hati untuk mempertahankan diri terhadap penjajahan itu.

Penjajahan manusia oleh manusia.


Dengan senjata seberapa yang ada, rakyat melawan senjata penjajah yang berlipat ganda banyaknya. Kekuatan immateriil itu terletak dalam keyakinan mereka akan suruhan Ilahi, yang mengharamkan dirinja dibiarkan untuk dijajah. Kepercayaan yang demikian mendarah mendaging dalam dirinya. Memang tidak pernah penjajahan dan keimanan itu dapat berkumpul. Ruh yang beriman adalah ruh yang menentang tiap2 kezaliman, penjajahan manusia atas manusia, „exploitation of man by man", kata orang sekarang ini. Dirasanya belum penuh menuruti perintah Tuhan, belum sempurna Agamanya, bila dibiarkannya dirinya dan kaumnya, di-eksploitir oleh golongan atau bangsa lain. Hal itu adalah sewajarnya, karena Agama yang dianutnya itu adalah suatu Agama, yang salah satu diantara ajarannya yang terpenting, adalah menolak tiap2 eksploitasi manusia oleh manusia dalam bentuk apapun juga.

Pada hakikatnya ajaran Islam itu merupakan suatu revolusi, yaitu revolusi dalam menghapuskan dan menentang tiap2 eksploitasi. Apakah eksploitasi itu bernama kapitalisme, imperialisme, kolonialisme, komunisme atau fascisme, terserah kepada jang hendak memberikan.
Demikianlah semangat kemerdekaan yang hidup dan dibakar dalam jiwa kaum Muslimin di Indonesia. Semenjak berabad2 semangat itu menjadi sumber kekuatan bangsa kita dan semangat itu pulalah yang menghebat dan mendorong kita memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia, pada tahun 1945 itu.

Bangsa paling lunak ....................... ? !

Mendengar Proklamasi itu dunia takjub dan heran, karena dengan tiba2 bangsa kita merupakan suatu bangsa yang lain dari pada yang digambarkan orang semula. Mereka menamakan bangsa Indonesia itu dengan julukan "het zachtste volk der aarde", yaitu bangsa yang paling empuk budinya diatas dunia. Halus budi dengan pengertian suka menurut dan senang diperintah oleh yang dipertuan. Tetapi bangsa yang paling empuk ini, sekarang tiba2 mengalami methamorphose, perubahan yang mahahebat.

Kalau tadinya mereka di-ibaratkan sebagai seekor domba atau kambing yang menurut saja, sekarang sekonyong2 mereka menjelma menjadi macan yang memperlihatkan kegagahan dan keberanian yang luar biasa, sampai menta'djubkan orang2 diluar negeri. Maka terdjadilah peristiwa jang mengagumkan seperti peristiwa Surabaya, peristiwa Semarang, peristiwa Bandung dan peristiwa lain2 diseluruh kepulauan Indonesia. Rupanya bangsa kita itu menanam dalam jiwanya satu khazanah keberanian yang terpendam, jang akan meletus pada saatnja. Didalam keadaan serba kurang dan tidak punya senjata, untuk menghadapi tentara Serikat yang membawa Belanda kembali, senjata immateriil itulah yang bangkit pada umat Indonesia itu. Dibangkitkan oleh para pemimpin dan para pemuka revolusi, dibukanya hati umat dengan suatu panggilan jiwa yang seringkali mendengung ditelinga umat yang banyak itu.

Panggilan "Allahu Akbar".


Kita mendengar panggilan dan seruan di radio untuk mengerahkan tenaga yang terpendam itu. Ber-juta2 bangsa kita, laki2 dan wanita, tua muda, masih ingat, seruan Bung Tomo dari Radio Surabaya. Ia memanggil para alim-ulama, para kyai, diseluruh Indonesia dengan panggilan "Allahu Akbar". Kita menghargai tinggi, karena ada seorang pemuda pahlawan sebagai Bung Tomo itu. Ia bukan saja berani tampil kemuka memimpin perjuangan, tetapi ia juga mempunyai suatu pengetahuan yang sering kali banyak orang tidak mengetahuinya, yaitu pengetahuan dimana terletaknya kunci dari pada kekuatan bangsa kita ini. Dibukanja kunci hati umat yang banyak itu dengan perkataan "Allahu Akbar".
Tahu dia mencari teman ! Tahu pula dia siapa2 teman yang dapat membangunkan tenaga dan menggelorakan tenaga itu. Dicarinya teman itu diantara para penuntun ruhani, yang tidak pernah kelihatan namanya di-surat2 kabar dan tidak pula pernah tercantum dalam daftar pemimpin partai2 politik. Dicarinya penuntun2 ruhani yang bernama ulama dan kyai di-desa2. Dipanggilnya dan diserunya : „Mari kita sama2 membuka kunci hati umat dengan kalimah "Allahu Akbar". Dengan demikian bergelora dan membanjirlah segala tenaga yang dikehendaki, begitu pula alat2 materi yang diperlukan.

Para pemuda, karena adanya seruan yang membuka kunci-hatinya itu, tidak ragu2 menjadikan dirinya jadi pagar kampung halaman, membenteng kampung halamannya dari peluru2 musuh. Banyak diantara mereka yang telah gugur sebagai pahlawan, ksatria dan syuhada. Kaum wanitapun tidak hendak ketinggalan, bahkan sampai2 kepada yang tua2pun tidak sabar duduk dirumah. Untuk itu mereka bukan mendapat gaji dan upahan dan bukan pula di-perintah2. Mereka diperintah hanya oleh hatinya sendiri, yang sudah dibuka dengan seruan "Allahu Akbar" itu.

Petunjuk Suci.


Seruan suci yang demikian, menjadi petunjuk bagi penyeru itu. Ternyata bagi mereka bahwa pada bangsa Indonesia itu ada suatu motor yang dapat menggerakkan tenaga untuk menghadapi bencana2 dari luar. Dan motor ini bukan se-mata2 motor yang bisa bergolak dan bergolong untuk menghancurkan musuh yang hendak menindas saja, tapi juga sanggup mengeluarkan energi dan potensi yang besar, yang jikalau pandai menyalurkannya, akan dapat membangun dan mengisi Negara yang sudah kita punyai ini. Beruntunglah tiap2 pemimpin yang mengetahui hal ini, dan dapat pula mengetahui bagaimana mempergunakan kekuatan yang besar itu. Kebalikannya celakalah Negara, yang pemimpinnya tidak pandai memakai potensi itu, sehingga potensi itu meletus jadi alat pembakar, atau tidak dipergunakan sama sekali.

Disaat ini kita sedang men-cari2 jalan, dan harus mendjawab pertanyaan: Hendak kita isi dengan apa Negara kita ini ?
Bagaimana mengisi Kemerdekaan itu ?"
Pertanyaan2 demikian harus kita jawab, untuk kepentingan generasi yang dibelakang, para pemuda dan pemudi yang akan menggantikan kita.

Tugas besar.


Kita menghadapi satu pekerjaan dan tugas besar dalam riwayat bangsa kita. Bangsa kita sedang menulis sejarahnya dalam lingkungan sejarah dunia.

Pertanyaan tadi harus kita jawab ber-sama2. Mengisi Kemerdekaan, bagi kita adalah satu tindakan didalam rangkaian bersyukur dan berterima kasih. Kita bersyukur kepada Tuhan yang telah mengaruniai kita hasil yang begitu hebat berupa Indonesia Merdeka dalam masa yang begitu pendek, yakni 5 tahun sadja. Republik Indonesia yang sudah kita punyai ini, kita yakini bahwa ia adalah kurnia Tuhan yang harus kita syukuri.

Banyak yang kurang dalam Republik kita ini. Banyak cacat^nya. Banyak yang kita tidak puas melihatnya. Akan tetapi dengan segala cacat yang melekat pada Republik ini, kita harus terima Republik ini dengan rasa syukur ni'mat. Bagi umat Islam mensyukuri ni'mat itu, adalah suatu kewajiban.

Tetapi harus diinsafi bahwa bersyukur atas ni'mat itu, bukanlah se-mata2 bergembira-ria dengan melepaskan segala instink2 untuk mencapai se-banyak2 kesenangan dan kemewahan. Bersyukur ni'mat artinya, ialah menerima dengan insaf akan apa yang ada, dengan segala kandungannya berupa kelemahan dan kekuatan yang terpendam didalamnya. Diterima dengan niat untuk memperbaiki. Memperbaiki apa jang belum baik, memperkuat mana yang belum kuat serta menyempurnakan mana yang belum sempurna. Itulah artinya bersyukur ni'mat. Dan bukanlah bersyukur ni'mat namanya, bila setelah melihat barang yang ada ditangan itu banjak cacat2-nya, lalu dilempar atau dibumi-hanguskan kembali.

Orang yang kesal hatinya dan sesudah mendapat masih merasa kehilangan, bukanlah orang yang bersyukur ni'mat. Satu2-nya ajaran dan petunjuk yang kita pegang adalah firman Ilahi, yang maksudnya:

„Kalau kamu pandai bersyukur ni'mat, Aku akan perlipat-gandakan apa2 yang telah engkau terima itu, akan tetapi kalau kamu bersikap kufurni'mat, tidak pandai menghargai dan menilai, menghabiskan waktu dengan menggerutu, atau melemparkan segalanya itu karena tidak cukup, ketahuilah bahwa sesungguhnja azab-Ku adalah azab jang pedih".
(Al-Quran, surat Ibrahim : 7)

Kita tidak mau mendjadi orang yang kufur ni'mat. Kita terima Republik Indonesia ini demikian, maka marilah kita pelihara, kita kuatkan dan kita tumbuhkan ia dari dalam dengan segala dasar2 yang baik untuk pertumbuhan yang sehat seterusnya.

Oleh karena itu, didalam menjawab pertanyaan : „Bagaimana caranja kita memperbaiki dan menyempurnakan ni'mat yang telah kita terima itu", bagi umat Islam, tidaklah begitu susah. Kita telah dikurniai satu Tanah Air yang begitu subur tanahnya, dan begitu baik iklimnya. Tidak sangat panas dan tidak sangat dingin. Hujannya bukan hujan jang membandjir, sebagaimana di-tanah2 tropis yang lain. Panasnya bukanlah panas terik yang membakar, yang mengeringkan dan menjadikan padang rumput menjadi padang2 batu dan padang pasir. Negara kita adalah tanah yang sangat makmur, dan me-limpah2 kekayaan alamnya. Dalam pada itu kalau kita lihat tenaga manusianya, alhamdulillah pula, tidaklah malu kita kiranya, bila dibandingkan dengan rakyat dinegara2 yang lain.
Bangsa kita mempunyai kebudayaan yang tinggi. Kebudayaan yang dimaksud bukan berarti hasil kepintaran otak se-mata2, tapi juga berupa akhlak dan budi pekerti yang halus yang diliputi oleh dasar2 tasamuh didalamnya, dasar "toleransi" kata orang sekarang. Percekcokan dan pertentangan yang hebat2, bukanlah sifat bagi kita bangsa Indonesia.

Toleransi.


Dinegara lain, seperti di India umpamanya, soal agama antara Hindu dan Islam sering menimbulkan perpecahan dan soal sulit-rumit yang menimbulkan perkelahian dan penumpahan darah yang hebat2, yang tidak kenal damai. Dinegeri kita, tidaklah demikian halnya. Bangsa kita mempunyai suatu sifat yang istimewa, yaitu sifat toleransi yang sudah menjadi darah-daging baginya semenjak dahulu sampai sekarang. Ini adalah modal positif yang mulia sekali dalam kalangan bangsa kita.

Sumber alam yang begitu kaya-raya, belumlah sangat dieksploitir oleh penjajah selama beberapa ratus tahun itu. Hanya beberapa persen saja baru yang telah diambilnya. Disini belumlah ada industrialisasi yang besar2 sebagai di Barat. Industrialisasi yang bersifat revolusi, yang menggoncangkan susunan struktur masyarakat belumlah begitu menghebat dalam masyarakat kita.

Feodalisme yang memperbedakan kedudukan antara satu golongan dengan golongan lain, tidaklah suatu hal yang merajalela di Tanah Air kita. Bangsa kita mempunyai suatu sifat yang hidup dalam darah-dagingnya, yakni sifat yang seringkali kita namakan gotong-royong. Pertentangan antara apa yang dinamakan kapitalisme dan proletariat, alhamdulillah, di Negara kita bukanlah menjadi dasar, sebagaimana yang telah menimpa negara2 Barat semenjak pertengahan abad yang lalu.

Dengan ringkas dapat dikatakan, kita mempunyai Tanah Air yang masih bersih dari pada bibit2 yang bisa menggoncangkannya. Ini adalah bahan baru yang segar, yang hendak kita bangunkan. Inilah dasar2 pembangunan kita. Malahan dalam rangkaian pikiran ini, — rasanya negara yang mempunjai sifat dan kedudukan geografis dan sosiologis seperti Indonesia ini, dengan rakjatnja yang 75 a 80 milliun itu —, adalah satu negara, yang mempunyai bakat2 istimewa, yang akan sanggup merintiskan jalan sendiri, sesuai dengan alam-iklim dan manusia Indonesia itu sendiri pula.

Metode sendiri.


Maka tidak usahlah kirana kita mencari2 jalan, yang barangkali di-negeri2 lain dapat berjalan atau tidak dapat berjalan dengan baik. Tidak usahlah kita mentransmigrasikan segala sistem dan metode2 jang lain itu dengan begitu saja. Kita dapat mencari metode dan sistem sendiri, sesuai dengan bakat dan bahan kita, sesuai dengan jiwa' sebagian besar dari pada rakyat kita.

Bagi kita umat Islam, bolehlah kita merasakan sebagaimana yang diresapkan oleh junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w. terhadap pengikut2-nja 13% abad yl., yang juga mengadakan revolusi besar untuk mengangkat satu umat yang paling lemah sampai menjadi umat yang berderajat mulia dan mempunyai kecakapan besar, yaitu perkataan beliau, yang tepat sekali kalau kita ingat2-kan sekarang ini. Perkataan itu kejadian, tatkala orang2 sudah gembira karena kembali dari peperangan2 yang berakhir dengan kemenangan, gembira dan bersuka-ria lantaran telah selesai menunaikan suatu pekerjaan berat, dengan hasil yang gilang-gemilang. Beliau berkata: „Kita baru kembali dari peperangan kecil, djihad jang kecil" — radja'na min djihadil-asghar, walaupun perjuangan itu mengakibatkan pertumpahan darah serta menghilangkan hajat dan nyawa, walaupun perjuangan itu betsifat membunuh atau terbunuh, berupa membumi-hanguskan apa yang ada, tapi toch perjuangan demikian, dinamakan beliau, perjuangan kecil dan perjuangan enteng, jihad asghar. Seterusnya kata beliau, umat akan menghadapi satu fase lagi dari perkembangan revolusi, yang bernama djihad-akbar, yaitu perjuangan yang lebih besar dari pada yang telah sudah, dimana tidak berbunyi kelewang dan senapan, tidak ada orang bunuh-membunuh, tidak ada siar-bakar, akan tetapi toch lebih berat dari pada jihad jang dilakukan pada masa jang sudah itu. Jihad itu, yaitu jihadun-nafs, jihad membangun pribadi sendiri, membangun pribadi umat, membina kekuatan dan kemampuan bangsa. Jihad ini lebih berat dari pada jihad atau peperangan yang hanya mempunjai satu semboyan, yaitu membunuh musuh sebanyak mungkin. Jihad nafs ini, adalah jihad yang berkehendak kepada rencana yang teratur, berkehendak kepada keuletan dan pandangan yang djauh, berkehendak kepada kesabaran terus-menerus. Jihad yang demikian, perjuangan membina pribadi dan membina umat itu, adalah perjuangan lama, suatu perjuangan yang berat kalau sungguh2 hendak dilaksanakan !

Agaknya tak salah kalau kita bandingkan perjuangan kita dimasa ini dengan fasenya jihad-akbar, yang dimaksud oleh jundungan kita Muhammad s.a.w. itu.
Didalam hal ini kita syukur, karena kita mendapat pedoman2, bagaimana membina pribadi dan membina masyarakat itu.


Nabi Muhammad Pemimpin Revolusi.


Muhammad s.a.w. adalah sorang pemimpin revolusi. Salah satu dari anasir revolusi Beliau ialah memberantas tiap2 eksploitasi, manusia oleh manusia, memberantas „exploitation of man by man" dan memberantas kemelaratan dan kemiskinan ,,elimination of poverty", kata orang sekarang.

Tiap2 ajaran dari pada Agama Islam adalah berisi dan ditujukan kepada memberantas eksploitasi manusia oleh manusia, dan memberantas kemelaratan dan kemiskinan itu.

Beliau berkata: "Kemiskinan dan kemelaratan itu adalah dekat sekali kepada kekufuran", „Kadal faqru an-yakuna kufran", dalam bahasa Arabnya. Jadi janganlah dibiarkan kemiskinan dan kemelaratan merajalela sekeliling kita, sebab kemelaratan dan kemiskinan itu membawa manusia kepada kemunkaran. Manusia yang baik bisa menjadi ingkar, disebabkan kemelaratan dan kemiskinan yang merajalela. Jikalau ingin akhlak jangan merosot, demoralisasi jangan merajalela, maka salah satu obatnja berantaslah kemiskinan dan kemelaratan itu.
Didalam ajaran2 yang praktis, yang diberikan oleh Islam, tiap2 seseorang, dari kita haruslah mempergunakan kekuatan dan potensi dirinja untuk menambah dan memperbanyak produksi, memperbanyak hasil, supaja dapat meninggikan peri kehidupan manusia dan dapat mem-bagi2 dengan teratur serta adil akan kekayaan dan barang2 yang diperlukan. Maka zakat adalah hanja sebagian kecil saja dari pada sistem itu dan sedekah sebahagian kecil pula dari padanya. Walaupun demikian, dengan zakat dan sedekah itu saja, telah dapat diberantas kemiskinan dan kemelaratan yang merajalela, kalau zakat dan sedekah itu dijalankan dengan teratur.

Bebas dari kemiskinan, penderitaan dan penindasan.


Seluruh sistem yang dimajukan sebagai way of life oleh Muhammad s.a.w. itu, terang dan nyata garis besarnya, yaitu untuk mengadakan suatu masyarakat yang hidup dalam keragaman. Kita sebagai umat Islam tidak boleh membiarkan diri kita rela menerima kemelaratan dan kemiskinan itu. Diperintahkan kita supaya jangan melupakan nasib kita diatas dunia. Kita disuruh memakai segala apa yang ada sekeliling kita dengan jalan mengubah kekuatan alam, barang2 logam, hasil2 lautan dsb. untuk memudahkan keragaman penghidupan. Semuanya itu diuntukkan Tuhan untuk manusia. Semua itu dapat meninggikan kehidupan manusia, sehingga kehidupan itu jadi beragam dan bercahaya dan manusia dapat merasakan ni'matnya anugerah Ilahi itu.

Produksi stelsel.


Menurut ajaran Islam, kapital atau kekayaan itu janganlah ditumpuk2 dengan tidak mengadakan penambahan produksi. Jangan ditumpuk2-kan mas dan perak untuk dilihat dan di-hitung2 saja saban waktu, tapi masukkanlah dalam roda produksi, dalam produksi stelsel bagi menambah kebahagiaan dan kesedjahteraan bersama.

Diancam Tuhan orang yang menumpuk2-kan harta yang on-produktief itu, yaitu orang yang dinamakan yaknizunazzhahab, yaitu orang yang me-nyimpan2 mas dan perak dengan tidak produktif, tanpa menghasilkan apa2 (Al-Quran, surat At-Taubah : 34).
Harta2 itu mesti digerak dan diputarkan, agar orang yang tidak bekerja mendapat pekerjaan dan agar besarnya produksi dapat mencukupi kebutuhan masyarakat. Atau dengan lain perkataan dalam pada modal harus dijadikan produktif, hendaklah pula para pemilik modal atau majikan, jangan dipimpin se-mata2 oleh motif mencari untung saja, tapi harus mementingkan perkembangan dan keperluan2 masyarakat.

Hak asasi manusia.


Didalam mencari hidup bahagia dan mengatur masyarakat, ahli2 pikir dan ahli2 sosiologi serta pejuang2 kemerdekaan diseluruh dunia, sudah sepakat menyusun suatu daftar yang dinamai hak2 asasi manusia.

P.B.B. mempunjai satu seksi yang tersendiri untuk menyusun apa yang dinamakan hak2 asasi bagi manusia itu. Hampir seluruh negara2 yang merdeka didunia sudah mengakui hak2 asasi tsb. sebagai dasar2 pikiran untuk dijadikan dasar pembangunan negara dan peri kemanusiaan. Antara lain, hak2 asasi manusia itu ialah hak merdeka berbicara dan mengutarakan pendapat, hak kemerdekaan beragama, hak mendapat kehidupan yang layak, hak untuk mogok bila perlu, ya, macam2 hak.
Daftar hak2 asasi itu sudah diatur, untuk diperingatkan kepada orang, agar jangan ada manusia yang dieksploitir oleh manusia lain. Ia mengingatkan kepada manusia itu sendiri2, agar jangan mau dieksploitir oleh orang lain. yang demikian tentu adalah suatu langkah yang baik.

Tetapi yang belum terlihat ialah hasilnya hak2 asasi yang diakui itu.
Belum mesra rupanya dalam pikiran tiap2 individu mana yang haknya, mana yang bukan haknya, sehingga hak2 asasi itu belum terlaksana dengan baik dalam masyarakat umat manusia.

Kepada manusia diajarkan supaya memperjuangkan haknya itu. Dia harus berjuang untuk mendapatkan haknya tsb. Orang yang memegang hak itu takkan suka dengan begitu saja, hak itu diambil oleh orang yang punya hak, tapi ia mempertahankan yang disangkanya punyanya itu. Sebagai akibat dari pada menginsafi hak dan tak memberikan hak itu, terjadilah bentrokan antara yang memegang hak dan yang punya hak.
Pihak kaum buruh mengatakan: „Kami .berhak, kalau tidak mau memberikan hak itu, kami pakai senjata mogok".
Kaum madjikan mengatakan : „Tidak ! Kita mau lihat sampai kemana kekuatanmu. Kita tidak akan memberikan sedikit juga hak itu jikalau belum bertempur "

Maka terjadilah pertempuran dalam memperebutkan hak dan hak itu dan timbullah dari pada perebutan hak itu semacam sistem yang lazim disebut orang sekarang, "struggle for life", perebutan hidup yang didasarkan kepada penuntutan dan penuntutan, yang berakibat siapa kuat siapa diatas, siapa lemah siapa mati !

Di-negara2 Barat, yang ber-kobar2 sekarang ini adalah falsafah „struggle for life" itu, mencari hidup, walaupun orang lain akan hancur lantarannya !
Tapi kita bertanya apakah memang, itukah satu2-nya jalan untuk mencapai kehidupan dan kesejahteraan sosial ? Ajaran Islam dalam menghadapi soal sulit-rumit ini, mempunyai pendapat yang berbeda.

Dengan tidak mengurangi bahwa tiap2 seseorang itu harus mengetahui apa haknya, Islam per-tama2 mengajarkan bukanlah "apa hak saja!', tapi yang diajarkannya pada seorang Muslim, ialah "apa kewajiban yang aku harus penuhi".

Kita mengetahui, seorang anak yang dipelihara dan dididik dengan penuh kasih sayang oleh ibu dan bapa mempunjai kewajiban untuk menghargai dan mencintai ibu dan bapanya itu. Menghargai dan berterima kasih kepada ibu dan bapa demikian, adalah suatu hal yang logis atas manusia. Sebaliknya kita juga dapat merasakan, bahwa ibu dan bapa itu berhak pula atas penilaian, penghargaan dan penghormatan dari anaknya.

Tetapi Islam tidak mengajarkan kepada si ibu dan si bapa: kamu berhak, atau hak asasimu : anakmu harus berterima kasih kepadamu dan kalau anakmu itu tidak berterima kasih, maka tuntutlah sampai bentrokan dan bertangisan ! Bukan demikian caranya dalam Islam !

Salah satu adaran yang harus diberikan kepada anak2, menurut ajaran Al-Quran ialah agar ditanamkan dalam jiwa si anak, bibit muhabbah tentangan hubungannya dengan ibu bapanya. Diajarkan agar si anak, berterima kasih kepada ibu bapa.
„Ansyukurli wa liwalidaika" (Q.s. Lucjman : 14), — supaya kamu bersyukur kepada-Ku dan berterima kasih kepada dua orang ibu bapamu 1 — „Rabbirham huma koma rabbajani — shagirot' (Q.s. Isra : 24) — „Ya Rabbi, ya Tuhanku, rahimi dan kasihilah ibu bapaku sebagaimana mereka mengasihi aku diwaktu aku masih kecil" —, demikian doa diajarkan Islam kepada anak untuk menghormati kedua ibu bapa !
Yang ditanam disini, ialah rasa kewajiban yang harus dipenuhi terhadap orang tua, dibawa oleh rasa rahim dan cinta kepada orang tua. Itu yang memperhubungkan antara ibu bapa dan anak itu. Jadi bukan tuntutan2 ibu bapa yang harus dipenuhi oleh si anak. Sebaliknya kepada si anak juga tidak diajarkan: „Wahai anak, kamu berhak atas pelayanan yang baik dari ibu bapamu!", tapi diajarkan : „Ibu wajib menyusukan anak, mendidik dan menjaganya lahir batin !".
Tidak diajarkan kepada si anak : „Kamu berhak asasi untuk menerima jang demikian. Jikalau ibu bapamu tidak menyusukan, tidak memberikan nafkah, pakaian dan makanan, serta menyerahkan kamu kesekolah, tuntut ibu bapamu itu. Kalau tidak diberinya mogok saja !"
Bukan begitu ! Bukan itu yang diajarkan Islam kepada anak. Sebelum anak merasakan keperluannya yang harus dipenuhi, kepada si ibu dan si bapa diajarkan: „Kewajiban yang tidak boleh tidak, adalah memelihara anak itu. Anak itu lahir dalam keadaan suci. Kalau kamu abaikan, maka kamulah yang menjadikannya, orang rusak, ingkar dan jahat, bukan salah si anak itu sendiri".

Diletakkan tanggung-jawab yang harus dipenuhi oleh si ibu dan si bapa, dan dikatakan pula apa2 kewajiban si anak terhadap ibu dan bapa. Hubungan antara kedua golongan itu, antara bapa-ibu dan anak, tidaklah ditekankan kepada kedua belah pihak, yang harus diselesaikan dengan
„tuntutan2" antara satu dengan yang lain. Akan tetapi dihubungkan atas rahim dan cinta didasarkan kepada pemenuhan kewajiban. Inilah ajaran Islam untuk mendekati penyelesaian soal.

Begitu penjelmaan idee kerahiman dan harmoni, yang dijadikan sebagai dasar hubungan individu dengan individu dalam rangkaian masyarakat kecil yang bernama „keluarga". Untuk menjelesaikan masalah dalam pergaulan hidup yang besar ini, Islam mempunyai konsepsi yang sejak dari dasarnya sudah sangat berlainan dari pada apa yang biasa kita dengar sampai sekarang. Dalam mencari penyelesaian masalah industri umpamanya, terutama yang berpokok pada pertentangan antara majikan dan buruh, Islam tidak membenarkan konsepsi yang dengan mempergunakan akumulasi golongan yang sama kepentingannya, menjadi suatu kelas untuk bertahan diri dengan menyerang kepentingan golongan atau kelas yang lain.

Approach Islam terhadap persoalan ini tidak dengan mengobarkan kesumat dalam bentuk pertentangan kelas. Sebaliknya Islam menyelesaikan masalah ini dengan jalan kembali menumbuhkan rasa saling mengerti antara orang2 atau golongan yang mempunyai perhubungan kepentingan, dengan tidak mengakui adanya kelas2 yang meruncingkan keadaan.

Timbulnya kekacauan sosial dalam dunia produksi, yang berakibat lahirnya serikat2 sekerja seperti sekarang, adalah disebabkan oleh adanya eksploitasi yang tidak mengenal peri kemanusiaan oleh pihak majikan atau pemilik modal terhadap buruh, yang dalam pada mempergunakan tenaga manusia dengan se-mau2-nya tidak mau memikul tanggung jawab atas kesejahteraan manusia yang diperas tenaga dan energinya itu. Tetapi tidak diinsafi bahwa dengan membenarkan teori pertentangan kelas sebagai jalan penyelesaian, dengan tidak mau tahu kepada kepentingan masyarakat umumnya, timbullah bahaya, yakni tirany majikan tersebut akan digantikan oleh tirany serikat2 buruh, yang setiap waktu dapat memerintahkan kepada anggota2-nya untuk mogok, dengan tidak bersedia menggantikan fungsi industri dalam mempersiapkan kebutuhan2 materiil bagi masyarakat pada umumnya dan buruh2 itu sendiri
pada khususnya.
Dasar approach Islam terhadap masalah ini telah diletakkan oleh Nabi Besar Muhammad s.a.w. sendiri dengan sabdanya bahwa: — „Tidak akan sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudara sesamanya, sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri".

Atas dasar inilah Islam berpendirian bahwa golongan majikan dan golongan buruh bukan merupakan dua kelas yang masing2 mewakili suatu kepentingan, eksklusif yang bertentangan satu dengan lain dan tidak dapat dipertemukan. Islam menganggap majikan dan buruh kedua2-nya faktor industri yang masing2-nja mempunjai fungsi, mempunyai tanggung-jawab dan andil, yang sama pentingnya dalam proses menghasilkan barang2 keperluan masyarakat.

Kedua golongan ini mempunyai persamaan kepentingan dalam arti, bahwa kemunduran industri, baik disebabkan oleh menurunnya produktifitet tenaga buruh oleh karena jeleknya keadaan kesehatan dan kesejahteraan
buruh itu, atau disebabkan oleh tidak dapat dijualnya barang hasil industri tersebut oleh karena tidak seimbang penjualan dengan ongkos produksi yang begitu tinggi karena tuntutan2 buruh.
Dihubungkan lagi dengan tenaga-pembeli dari masjarakat, semua itu akan berakibat buruk dan merugikan kepada kepentingan majikan dan buruh itu sendiri pula.

Oleh karena itu, menurut Islam, dengan adanya perasaan tanggungjawab terhadap masyarakat dan dengan merasakan imbangan kepentingan2 itu, masalah pertentangan majikan dan buruh dapat diselesaikan atau dengan perkataan lain menumbuhkan kembali kesadaran akan tanggung-jawab masing2 terhadap anggota masyarakat besar dan rasa saling mengerti antara sesama anggota masyarakat itu.

Untuk dapat menciptakan pergaulan yang harmonis antara majikan dan buruh, Islam meminta supaja majikan dapat merasakan apa yang dirasakan oleh buruh, dapat mengerti keperluan dan keinginan2 buruh sebagai manusia, dapat melihat segala persoalan dari segi buruh, dan akhirnya dapat memberikan pernilaian terhadap kesukaran2 yang dihadapi oleh buruh. Berdasarkan ini, si majikan harus bersedia memikul tanggung-jawab sepenuhnya atas perbaikan penyelenggaraan kesejahteraan buruh, baik buruh itu dipandang sebagai faktor produksi, lebih2 sebagai saudaranya sesama manusia. Sebaliknya Islam meminta kepada buruh, untuk setia kepada tanggung-jawabnya, jangan menjalani janji kerja, jangan mencuri jam. „walmufuna bi'ahdihim", — Muslim itu wajib menyempurnakan janjinya (Q.s. Al-Baqarah: 177).

Jadi dalam mengusahakan perbaikan nasib buruh, harus diperhatikan juga pengaruh dan akibat dari tindakan2 yang diambil terhadap kepentingan anggota masyarakat besar yang lain.

Penyelesaian menurut Islam atas dasar saling mencintai dan saling mengerti serta menghormati akan kepentingan pihak yang lain ini, adalah djalan yang se-baik2-nya. Jadi tidak dengan memperbesar kebencian dan permusuhan seperti terdapat dalam konsepsi pertentangan kelas yang tak kurang mengundang bahaya baru — tirany serikat sekerja. Dengan berhasilnja hubungan harmonis-antara madjikan dan buruh sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam ini, organisasi2 gabungan majikan dan organisasi serikat2 sekerja akan berubah sifat dan fungsinya menjadi badan pelaksana yang memelihara dan mempertinggi nilai saling mengerti antara majikan dan buruh itu sendiri, jadi tidak lagi merupakan dua pahlawan kelas yang dalam menghadapi satu atas yang lain sudah terlebih dahulu dikuasai oleh saling-curiga dan saling-tidak-percayamempercayai.


Hidup wajib bekerja.


Manusia itu harus bekerja. Manusia hidup bukan untuk makan saja. Perbedaan manusia dengan hewan, ialah bekerja. Manusia yang tidak bekerja, akan tetapi mendapat makan juga adalah manusia yang belum cukup kepribadiannya.

Kepada majikan diajarkan oleh Islam : „Jikalau kamu mempunyai pekerja dirumah tanggamu, yang melajani kamu se-hari2, maka harus kamu beri makan mereka sebagai makanan kamu sendiri. Jangan di-beda2-kan makanmu dengan makan mereka walaupun kamu tidak sebangsa dan tidak seagama dengan mereka". Buruh itu bukan alat mesin yang mati. Mereka manusia biasa sebagai kamu. Dia mempunyai keinginan. Dia mempunyai kehormatan diri. Jangan ditindas harga dirinya. Jangan jadikan mereka mayit berjalan, yang harus disiplin tegang saja. Jikalau kamu sudah berjanji untuk memberikan upah kepadanya, „bayarkan upah si buruh sebelum keringatnya kering.'" Demikian ajaran Islam. Jangan dikreditkan, di-tahan2 atau di-tunda2 !

Begini saripati ajaran Islam dalam mendekatkan hubungan golongan dengan golongan, hubungan lapisan dengan lapisan dalam masyarakat. Diletakkan titik-beratnya kepada kewajiban, yaitu apakah yang masing* harus tunaikan !".
Sebab itu Islam mengajarkan dua macam kewajiban, yaitu yang dikatakan fardlu-'ain dan fardlu-kifajah. Fardlu-'ain ialah kewajiban orang seseorang, individu terhadap Tuhannya. Tidak boleh dianemerkan fardlu-'ain ini, seperti sembahyang, puasa, naik haji umpamanya diborongkan kepada orang lain. Disamping fardlu-'ain ada fardlu-kifajah jang harus ditunaikan untuk sesama manusia, untuk masyarakat. Fardlu -kifajah ini wadjib ditunaikan oleh tiap2 individu terhadap gemeenschap. Ke-dua2 "fardlu" atau wajib ini tidak boleh lepas. Kalau yang satu dicabut, maka yang tinggal adalah 50%, tidak utuh. Didalam bagian kedua ini termasuk apa yang dikatakan orang sekarang sosial, ekonomi dan politik. Namakanlah itu ekonomi, namakanlah itu politik, namakanlah itu sosial, semuanya itu sebenarnya ada didalam Islam.

Nilai agama.


Agama dan beragama itu dalam Islam ada demikian rupa erat hubungannya dengan kemanusiaan, sehingga tinggi rendahnya orang beragama itu dinilai dengan apa dan cara bagaimana ia menunaikan kewajibannya terhadap manusia. Didalam Quran ada ancaman terhadap orang yang pura2 beragama, dinamakan orang yang mendustakan Agama, walaupun ia tunggang-tunggik lima waktu sehari semalam bersembahyang dan sebulan Ramadan berpuasa. Ia toch tetap dinamakan orang yang mendustakan Agama, bila ia tidak melengos sedikit juga untuk memperbaiki nasib anak2 yatim, orang2 miskin dan melarat.
„Tahukah kamu siapa jang mendustakan Agama ?" — begitu bunyinya, rethorische vraag dari Al-Quran, yang selanjutnya diterangkan dandijawab sendiri oleh Quran itu, yaitu orang2 yang tidak memelihara anak yatim, tidak membela orang2 miskin dan membiarkan kemelaratan merajalela, yang merasa senang hidup dengan dirinya sendiri, tidak menoleh sedikitpun juga kepada kaum gembel. Itulah orang yang "yukazzhibu biddin" atau mendustakan Agama itu. Demikian ajaran Islam (Q.s. Al-Ma'un : 1-4).

Nilai seseorang dan mutunya Agama pada seseorang, diukur dengan sikap orang itu terhadap masjarakat. Kalau kita hendak membina, haruslah ditimbulkan masyarakat yang strukturnya sosiologis, mempunyai sifat tasamuh dan gotong-royong. Djiwa gotong-royong dalam pupuk untuk menunaikan fardlu-kifajah. Bahwa sistem jang demikian adalah cocok dengan jiwa kita bangsa Indonesia, tidaklah diragukan lagi.
Di Indonesia ini tidak ada harapan akan timbul sistem yang didasarkan kepada pertentangan golongan dengan golongan, kelas dengan kelas. Sistem jang cocok dengan djiwa bangsa Indonesia, ialah tetap adanja keragaman hidup itu, tapi gotong-royongnyapun ada pula. yang demikian adalah ajaran yang dibawakan oleh Pemimpin Besar revolusi, Nabi Muhammad s.a.w.

Fanatik.


Beliau membawa ajaran untuk memberantas apa yang dinamakan ta'asub atau yang sering kali disebut orang dengan istilah „fanatik" meskipun tidak begitu tetap perkataan fanatik untuk pengganti ta'asub itu.

Tetapi pakailah perkataan fanatik itu, yaitu fanatik didalam segala lapangan. Fanatik didalam paham, fanatik didalam membela kaum dan bangsa. Tentang ini barangkali baik saja kemukakan satu hal, karena sering kali orang menyangka, bahwa Islam bertentangan dengan adanya bangsa2, tegasnya, katanya, Islam memungkiri adanya bangsa, se-olah2 orang yang memeluk Islam itu tidak ada bangsanya lagi. Yang demikian adalah tidak betul ! Kita dapat menjadi seorang Muslim yang taat, yang dengan riang-gembira pula menjanjikan Indonesia Tanah Airku 1.
Bagaimana kita akan menghilangkan ke Indonesia-an kita, karena Tuhanlah
Yang menjadikan kita ber-bangsa2 seperti yang tampak dimuka bumi sekarang ini. Kita harus dapat berbahagia dan bergembira memperlihatkan kepada dunia luar, inilah kami bangsa Indonesia, bahasa kami demikian, kebudayaan kami demikian, tulisan batik2 kami demikian, ukiran kami demikian, musik kami demikian, dan sebagainya.

Semua itu tidak ada salahnya. Malah kita disuruh menyumbangkan kebudajaan kita kepada kebudayaan dunia yang besar itu, sebagai bangsa, kita anggota dari pada kekeluargaan bangsa2 yang besar itu.

Tidak ada perlunya, seorang Muslim itu harus menanggalkan kebangsaan dan kebudayaannya. Dalam adjaran Islam disebutkan, bahwa manusia ini dijadikan dalam golongan, bangsa2 dan suku2-bangsa yang ber-beda2. Bahasapun ber-macam2. Ini adalah jithrah, atau natuur, kata orang sekarang. Dikatakan diudjung ayat itu, litdaraju, supaja kamu kenal-mengenal antara satu dengan yang lain. Alangkah bosannya andai kata kalau kita hanya melihat semua orang didunia ini satu saja warnanya.
Kalau putih, ya putih semuanya, kalau hitam ya hitam semuanja ! Barangkali untuk mencari afwisseling mau rasanya kita lari kebulan atau kebintang untuk mencari manusia yang lain, kalau demikian !

Persamaan hak.


Oleh karena itu, keragaman yang natuur itu, atau undang2 Tuhan yang telah berlaku dalam alam kemanusiaan itu, tetaplah tinggal demikian.
Tapi janganlah, mentang2 kita berkulit putih, lantas merasa lebih tinggi dari pada bangsa yang berkulit sawo, sehingga mendapatkan hak asasi untuk menjajah mereka. Atau kalau kebetulan kita berkulit sawo, janganlah merasakan diri lebih tinggi dari pada orang yang berkulit hitam. Yang demikian bukan kebangsaan yang sehat. Itu sudah sampai kepada kecongkakan bangsa, kesombongan bangsa, kefanatikan bangsa. Paham kebangsaan yang begini, memang dilarang oleh Islam. Islam adalah satu sistem yang memberantas kefanatikan bangsa, chauvinisme yang sempit, racialisme kata orang Barat sekarang. Cara ilmunya dari faqih2 kita, yang dilarang oleh Islam itu, ialah 'ashabiyah djahiliyah.

Saja hendak mengatakan sekali lagi, bahwa jauh dari pada hendak menghapuskan bangsa dan kebangsaan, Islam adalah meletakkan dasar2 untuk subur hidupnya bangsa dan suku2-bangsa, atas dasar harga-menghargai, kenal-mengenal, memberi dan menerima. Kalau kita bangsa Indonesia, silahkan merasa bangga sebab jadi bangsa Indonesia, tapi awas, jangan merosot sampai menjadi cbauvinisme yang sempit, yang akan menudju kepada fascisme dan totaliterisme itu. Saudara jangan tidak kuatir, bahwa dinegara kita tidak akan bisa tumbuh fascisme, totaliterisme dan sebagainya itu. Bisa saja ia tumbuh ! Fascisme dan sebangsanya itu adalah suatu alam pikiran, yang tidak tergantung apa kulitnya putih, hitam, atau sawo-matang dll. Kita harus hati2, agar fascisme dan sebangsanya itu jangan tumbuh dinegara demokrasi kita, yang berke-Tuhanan Maha Esa ini. Ini adalah kewajiban setiap Muslim!

Racialisme penjakit besar.


Racialisme, diakui, adalah salah satu dari sumber penyakit dunia yang menimbulkan peperangan demi peperangan. Cbauvinisme menimbulkan bentuk2 kebangsaan yang lebih berbahaya untuk masyarakat, seperti timbulnya paham fascisme, totaliterisme dan lain2 yang serupa itu. Hitler berkata bahwa "Herrenfolk" itu ialah bangsa yang dipertuan, selainnya adalah bangsa campuran yang tidak bisa hidup sendiri, akan tetapi harus dijajah oleh Herrenfolk. Semua itu adalah gradasi dari pada apa yang dinamakan 'ashabiyah djahiliyah itu.

Bagi golongan2 yang lebih senang mendengarkan, atau lebih lekas menerima jikalau hal yang kita kemukakan ini tertulis dalam buku bahasa asing, bahasa Inggeris umpamanya, maka saya ingin memperkenalkan kepadanya seorang Profesor yang bernama Toynbee, seorang historikus bangsa Inggeris yang terulung dizaman ini. Ia berkata dalam bukunya, Civilization on Trial, — "Ancaman terhadap Kebudayaan", sebagai berikut:

„Dunia sekarang mempunjai dua penyakit, yang belum dapat orang mencarikan obatnya. Penyakit itu ialah racialisme dan alkohol". Dengan
kupasan yang terang-benderang, Toynbee menyatakan, bahwa racialisme dan alkohol adalah sumber2 kegoncangan dunia.

Seterusnya Toynbee berkata: „Kalau ada satu sistem yang dapat menghancurkan racialisme dan alkohol itu, sistem itu hanyalah Islam". Toynbee bukan seorang Muslim, ia seorang Kristen. Sebagai seorang ahli pengetahuan, seorang scientis, ia hanya melihat facts demi facts, menganalisa keadaan demi keadaan. Toynbee dengan terus-terang berkata seperti itu.

Juni 1955

No comments:

Post a Comment