Monday, December 31, 2012

MAS MARCO, “SAIR & BACAAN LIAR” JAMAN BERGERAK

Awal Abad 20 merupakan awal lahirnya  bacaan- bacaan yang ditulis kaum bumi putera yang dipelopori oleh RM. Tirtoadhisoerjo. sebagai seorang pelopor pergerakan nasional yang memproduksi bacaan-bacaan fiksi dan non-fiksi.

RMT telah mendorong beberapa tokoh pergerakan untuk melakukan hal yang sama, seperti  Mas Marco Kartodikromo, Soeardi Soerjaningrat, Tjipto Mangoenkoesoemo, Semaoen, Darsono dan  lainnya.

Mereka semua menghasilkan bacaan-bacaan populer yang terutama ditujukan untuk mendidik bumiputra yang miskin (kromo). Bacaan-bacaan yang mereka hasilkan merupakan ajakan untuk mengobati badan bangsanya yang sakit karena kemiskinan, juga jiwanya karena kemiskinan yang lain, kemiskinan ilmu dan pengetahuan. Penyebaran gagasan dalam bentuk bacaan bacaan politik berkenaan dengan konsep pergerakan.

Bagi kaum pergerakan, bacaan merupakan alat penyampai pesan dari orang-orang atau organisasi-organisasi pergerakan kepada kaum kromo. Oleh spectrum revolusioner dan radikal dari kaum pergerakan, bacaan diisi pesan tentang jaman yang telah berubah dan penindasan kekuasaan kolonialisme. Tujuan dari pesan-pesan tersebut adalah agar dapat mengajak rakyat--kaum kromo--melawan penjajah, sebagaimana pernah dinyatakan Marco:

"...kapitalist Europa, dia orang soedah sama bersepakat dengan bangsanya kapitalis alias membikin Maatschappij jang besar-besar, dan akalnja menggaroek oeang, jaitoe menghisap darahnja kromo, soedah amat pintar sekali."

Penjelasan tersebut jelas berusaha agar kaum kromo sadar dan mengerti makna kolonialisme—karena mereka sadar bahwa pengetahuan tentang masyarakat koloni-negara kolonial merupakan persyaratan yang dimiliki bangsa pemenang atas bangsa yang dikalahkan.

Sementara itu para pemimpin pergerakan sendiri memandang produksi bacaan mereka sebagai bagian yang tak terpisahkan dari mesin pergerakan: untuk mengikat dan menggerakkan kaumkromo--kaum buruh dan kaum tani yang tak bertanah. Produksi bacaan dapat berbentuk surat kabar, novel, buku, syair sampai teks lagu.

Marco Kartodikromo adalah orang yang paling produktif dalam menghasilkan "bacaan liar". Karya-karya yang dikenal adalah Mata Gelap, yang terdiri dari tiga jilid yang diterbitkan di Bandung pada tahun 1914; Student Hidjo diterbitkan tahun 1918; Matahariah diterbitkan tahun 1919; Rasa Mardika diterbitkan tahun 1918, kemudian dicetak ulang tahun 1931 di Surakarta. Marco juga menerbitkan sekumpulan syair, Sair rempah-rempah terbit di Semarang pada tahun 1918 dan Sair Sama Rasa Sama Rata terbit di suratkabar Sinar Djawa tahun 1918. Kemudian Babad Tanah Djawi yang dimuat di jurnal Hidoep tahun 1924-1925. Dari karangan karangannya ini, belum lagi dari karya jurnalisnya, nampak ketegangan-ketegangan dalam cara berpikirnya.


Mas Marco adalah anak zamannya, yang tercipta oleh pendidikan gaya barat yang dihasilkan oleh aktivitas negara kolonial dan bisnis swasta. Pendidikan formalnya hanya sekolah ongko loro dan sedikit pengetahuan berbahasa Belanda. Pada usia 20 tahun ia menerjuni dunia pergerakan dengan predikat jurnalis. Setelah beberapa lama bergelut dalam dunia jurnalistik di Bandung, Marco kembali ke Surakarta dan mendirikan surat kabar serta "menulis apa yang ingin ia tulis dan katakan". Marco sangat memegang teguh prinsipnya sampai akhir hayat, yakni seorang jurnalis harus berani mengatakan apa yang dirasakan sebagai satu kebenaran tanpa takut terhadap ancaman dari kekuasaan. Untuk menyampaikan apa yang ia anggap sebagai kebenaran tersebut, Marco harus menanggung risiko dengan beberapa kali masuk penjara pemerintah kolonial, baik di Bandung, Batavia, Semarang sampai Gulak Boven Digoel, tempat dimana hidupnya berakhir karena malaria.

Sebagai perintis jurnalistik pribumi, Marco memiliki keistimewaan dalam penggunaan bahasa. Bahasa yang ia gunakan mudah dipahami oleh kebanyakan orang Hindia pada saat itu. Marco mengajak rakyat Hindia untuk bertukar pikiran, belajar dan memahami kehidupan yang mereka hadapi dalam bahasa yang dimengerti oleh bumiputra sebagai bangsa Hindia, yaitu bahasa Melayu. Sementara itu segelintir intelektual yang ada pada saat itu masih berpikir dan menyampaikan opininya dalam bahasa Belanda yang sangat sedikit dimengerti oleh kaum bumiputra yang berstatus kromo.

Kiprah jurnalis Marco makin menjadi nyata ketika ia dan Tjipto Mangunkusumo dengan dibantu oleh Suwardi membentuk organisasi jurnalis pertama kaum bumiputra yang dikenal dengan nama Inlandsche Journalisten Bond. Melalui organisasi ini Marco dan beberapa orang jurnalis bumiputra mencoba mengartikulasikan idealisme jurnalisnya untuk menyuarakan kepentingan anak pribumidan kaum kromo. Seiring dengan adanya organisasi ini juga diterbitkan surat kabar Doenia Bergerak pada tahun 1914 sebagai senjata dalam "perang suara" dengan kesewenang-wenangan dan ketidakadilan.

Surat kabar dalam pergerakan mendapat makna tersendiri, ia tidak hanya sekedar penyebaran berita melainkan sekaligus sebagai satu alat untuk mengorganisasikan pikiran dan tindakan dalam melawan kesewenangan yang timbul sebagai akibat kerja mesin kolonial. Oleh sebab itu, kegiatan jurnalistik menjadi nadi utama untuk hidupnya embrio bangsa dalam mencari identitasnya, seperti yang kita pahami dengan nama 'Indonesia' sekarang

Berikut beberapa syair dan tulisan karya Mas Marco :
           

KROMO DI JAWA
Sinar Djawa, 20 Pebruari 1918

Pagi-pagi pukul lima bangunlah Kromo dari tidurnya akan mengusahakan sawahnya . Ia mengeluarkan kerbau dari kandangnya dan memanggul bajak, menyingsingkan bajunya . Seorang budak kecil yang belum berumur, meskipun belum waktunya bekerja berat, berjalan dibelakang bapaknya itu membawa cangkul.. Bekerjalah kromo dengan anak sekeras-kerasnya setiap hari. Setelah pukul sebelas pulanglah Kromo dengan perut kosong, tetapi seribu sayang perutnya itu tak dapat diisi dengan segera, karena bini Kromo belum datang dari pekan menjual kayu-kayu dan daun pisang. Kromo terpaksa menunggu kedatangan bininya itu dengan bekerja memotong motong kayu, mengambil buah nyiur akan dijual, pada esok paginya. Kira-kira jam dua Kromo baru bisa makan  dengan nasi merah dan ikan gerih ;  tetapi kelihatanlah amat lezat cita rasanya karena dia empunya perut “amat kosong”. Habis makan pergi pula Kromo ke sawah, pada pikirannya biarlah lekas selesai pekerjaannya itu. Jam enam sore ia baru pulang , kalau tak ada nasi biasanya makan ketela pohon yang direbus atau dibakar ; itulah sudah cukup buat menahan perutnya. Dari payahnya pada waktu malam ia tidur pulas, dan bininya senantiasa : “remrem ayem” sebab merasakan apakah gerangan yang akan dimakan esok paginya ????.

Pada musim menanam padi bini kromo setiap hari pergi ke sawah. Kromo sekarang harus mencari duit buat makan seanak bininya. Ia pergi mengambil rumput atau buruh menjadi kuli di fabriek-fabriek. Kromo kurang mengarti pada pekerjaan yang dijalaninya itu, tetapi meskipun begitu bekerjalah kromo dengan sunguh-sungguh hati. Malanglah nasib diri si Kromo, pekerjaannya ada salah sedikit dengan ketahuan Bendoro Tuan Besar. Bendoro Tuan ta memandang kiri kanan , lalu marah sekeras-kerasnya pada Kromo, POT KEDOESLENG, rek, reek, cukimai, anjing gila, kau orang Jawa selamanya bodoh seperti kerbau, tidak tahu apa-apa !! Kromo meskipun hanya mendapat 20 cent sehari, mendapat cacian dan makian yang amat kotor itu terpaksa berdiam diri, sebab ingat ia akan anak bininya.

“INGGIH – NDORO – DALAM – SAMPUN – LEPAT, “kata Kromo!!!. Pada waktunya menerima bayaran, Kromo tak terima genap, kata bendoro tuan : “ Bayaranmu kupotong separo, sebab kau tidak bisa bekerja dan malas.” Hem !!! laksana berjatuhan buah nyiur ke kepala Kromo, mendengar perkataan “POTONG” itu. Sebetulnya dalam seminggu ia harus menerima f 0,20x6 = f 1,20, jebulnya f 0,60. Uang sekian dimakan dengan anak bini dalam seminggu !! O, Kromo kapankah kamu merasakan ; roti mentega, sardentjies, ongklok seperti halnya Kromo Belanda ???

Apabila padi disawah telah kelihatan kuning, maka ributlah kromo untuk mengetamnya.  Ada perintah dari pembesar onderneming, yang menyewa itu tanah, keluar dari lurah-lurah desa atau diatasnya., bahwa semua padi dalam sekian hari harus diketam. Wah, disitu Kromo ribut betul-betul. Padi yang belum musimnya harus dibinasakan. Betul Kromo dapat kerugian, tetapi tak sepadan dengan keaadaannya, Kromo setengah menjerit menerima uang kerugian itu, padahal dalam hatinya : “Tidak akan menjual padinya kalau belum waktunya membayar belasting”. Susah payah Kromo mengusahakan sawah itu hanya diganti uang amat sedikit. Kalau tidak mau?? Tahu sendiri, sedikit hari lagi ia tentu dituntut diluar rol, karena melanggar reglement. Empat belas hari lamanya Kromo meringkuk dalam kandang tikus.

Setelah orang ramai mengetam padi itu maka dimasukkanlah sebagian ke dalam lumbung dan sebagian pula dijual pada waktu itu dengan harga murah sekali. Sekarang kromo mulai bekerja buat keperluannya kaum kapitalist. Batang padi yang ada disawah dibakarlah oleh Kromo dan setelah sudah, orang mulai membuat lobang-lobang yang panjangnya kurang lebih tiga meter. Dari pagi sampai petang hari Kromo hanya berhenti dua jam untuk mengisi perutnya. Meskipun begitu dalam sepuluh jam itu hanya dapat empat lobang. Pada hal yang 1 lobang kromo hanya dapat upah 3 cent. Kalau kromo bekerja lembek tidak urung dapat marah dari tuan fulnopziener dan diancam akan dirapportkan pada politie. Kalau diancam saja itulah nama untung besar. Terkadang dapat cacian dan makian yang tidak patut di dengar, setengahnya ada yang dapat pukulan.

Dari membuat lobang hingga menanam tebu pendek Kromo tal dapat lalai, kurang lebih lima bulan lamanya. Kalau batang tebu telah tua, disitulah kromo mengambil upah buat  mengangkat kedalam fabriek. Kromo baru dapat memberhentikan diri kalau habis menggiling tebu yang hanya kurang lebih dua bulan lamanya. Dalam berhenti bekerja itu  Kromo merasakan halnya akan membayar belasting. Tiada urung sebagian padi yang ada dalam lumbung itu dijual pula dengan harga semaunya yang membeli. Oleh karena kena pengaruh Kijageng BUTUH, Kromo tak pandang murah harga padi, asal sudah cukup buat membayar belasting. Untungnya kaum yang punya duit, membeli barang-barang dari Kromo dengan harga murah benar, kalau nanti menjualnya ??.

Demikianlah nasib Kromo yang sawahnya telah disewa oleh ondernemingen dengan contract. Kromo semacam ini orang dapat melihat dimana vorstenlanden. Akan tetapi saya rasa tak jauh bedanya dengan Kromo dilain tempat.

Dari situ saya ada pengharapan keras pada segala kaum kapitalisten, hendaklah tuan menaruh kasihan sedikit pada Kromo dan golongan proletariat. Apabila kromo mendapat salah, seharusnya diberi nasehat, jangan main tendang, main potong-main maki-makian- Kromo itu juga orang bukan ? Berilah olehnya bayaran dengan pantas, tiadakah tuan mengetahui bahwa ini waktu harga makanan serba mahal terutama harga beras?? Bukankah Kromo telah bertahun-tahun membela keperluan tuan??.

Hai, pemimpin kemajuan Hindia, usahakanlah sekeras-kerasnya, agar Kromo mendapat kemerdekaan sedikit !!!. Saya rasa Leden penyayang Bp. dari Volksraadlah yang nanti akan membela. Malang dan untung bergantung pada kebijaksanaan tuan itu. Celakalah kalu leden tak suka memperhatikan keaadaan Kromo; bukan nama Volksraad pula, akan tetapi POELESRAAD. Tersila tuan Jong Javanen juga adanya.


APAKAH PABRIK GULA ITU RACUN BUAT BANGSA KITA ?!
Sinar Djawa, 26 Maret 1918

Tuan H.E.B. SCHMALHAUSEN, pensiunan Assistant Resident di tanah jawa bukunya yang dikasih nama JAVA EN DE JAVANEN, betapakah sengsaranya bangsa kita orang desa yang tanahnya sama disewa pabrik. Disini kami tidak perlu lagi menerangkan lebih panjang tentang isinya buku tersebut diatas, tetapi kami hendak membuka aduan beberapa orang desa yang sawahnya disewa oleh pabrik gula. Sampai sekalian pembaca telah menaksirkan sendiri, ditanah kita inilah penuh dengan pabrik-pabrik gula dan  berjuta-juta rupiah pabrik itu bisa tarik keuntungan. Kalau hal itu dipikir dengan hati yang suci orang tentu bisa berkata,  Bila keuntungan sebesar itu kekayaan bangsa kita orang desa yang mempunyai sawah disewa oleh pabrik. Dari itu tidak salah lagi kalau ada yang berkata : Dimana pabrik gula, tembako, nila enz enz. Disitulah orang desanya ronkang-rangkang! Meskipun kami mengerti bahwa kapitalisme dan regeering itu sesungguhnya jadi satu badan, tetapi disini kami hendak menguraikan dengan cara yang baik, juga dengan sangat pengharapan kita supaya pemerintah sudi memperhatikan tulisan kami ini, agar supaya bangsa kita saudara desa tidak terlalu sangat mendapat tindesan dari pabrik-pabrik gula.

Caranya pabrik gula hendak menyewa sawah orang-orang desa itu yang sudah kejadian lantaran dari politie desa :  Lurah, carik, enz, enz, jadi pabrik tidak usah rewel-rewel masuk keluar di rumah-rumah orang desa yang sawahnya hendak disewa pabrik. Apakah perkara ini sudah mestinya pegawai desa atau gupermen ; Assistant Wedono, Wedono dan regent mesti menolong keperluan pabrik buat mencari tanah yang akan ditanami tebu? Kalau menurut adilnya, seharusnya pabrik mesti datang di rumah masing-masing orang desa dan lain-lainnya sama sekali tidak boleh turut campur tentang perkara sewa menyewa itu sudah kejadian dan hendak teken perjanjian.

Banyak orang-orang desa bilangan pabrik Cepiring dan Gemuh afdeling Kendal, Semarang, bahwa mereka itu perlu menyesal sekali, karena sawahnya disewa oleh pabrik, sebab uang sewaan tanahnya dari pabrik itu lebih sedikit daripada hasil kalau itu tanahnya dikerjakan sendiri. Apakah sebabnya itu pabrik bisa menyewa tanah orang desa dengan harga murah sekali? Tidak lalu tentu dari rupa-rupa akal yang tidak baik buat orang desa itu, tetapi baik buat lurahnya enz, enz. Begitu orang memberi kabar kepada kami. Kalau kabar itu nyata, kami berseru kepada pemerintah untuk menyelidiki, apakah priyayi-priyayi dan lurah yang memegang pemerintahan di pabrik situ tidak terima presen dari pabrik, sudah tentu akalnya pabrik menyewa tanah orang-orang desa dengan laku yang tidak baik.

Hal ini kami telah mendapat keterangan beberapa orang desa yang sawahnya disewa pabrik. Dibawah ini kami bisa kasih keterangan dengan pendek, supaya jadi timbangan sekalian orang yang sehat pikirannya : “ Sebahu sawah oleh pabrik tidak lebih f66,-(enam puluh enam rupiah) didalam 18 bulan, yaitu seumur tebunya ; sawah sebahu kalo ditanami padi bisa tiga dalam 18 bulan, dan itu padi kalau laku dijual tidak kurang dari f300(tiga ratus rupiah), jadi tiap-tiap bahu sawah yang disewa pabrik, orang desa rugi f234,- ( dua ratus tiga puluh empat rupiah) cobalah pembaca pikir sendiri bukankah sudah terang sekali kalau menurut keterangan  diatas itu, semua orang desa yang sawahnya disewakan pabrik cuma f66,- (enam puluh enam rupiah) sebahu dalam 18 bulan lamanya, dia orang mendapat kerugian f234,- (dua ratus tiga puluh empat rupiah). Lagi pula semua sawah yang luas ditanami tebu itu tidak bisa baik lagi ditanami padi. Kalau menilik hal itu terang sekali orang-orang desa yang sawahnya disewakan pabrik itu tentu dengan akalan yang lebih baik, sebab kalau tidak begitu, kami berani berkata, tentu orang desa tidak nanti sawahnya boleh disewa pabrik tebu.

Apakah tidak lebih baik pemerintah menentukan harga tanah yang disewa pabrik tebu, misalnya ; pabrik tidak boleh menyewa tanah orang desa  dari f200,- sebahu dalam 18 bulan. Kalau hal ini dilakukan , tentu bangsa kita orang desa tidak bakal sengsara lantaran adanya pabrik-pabrik gula.

Keterangan-keterangan ini masih pendek sekali, sebab hanya kami ambil yang perlu saja, tetepi kalau ini usikan tidak berguna, yaitu tidak bisa mengubah haluan pabrik tentang sewa menyewa tanah kepada orang-orang desa, di belakang hari hendak kami terangkan dengan panjang lebar juga semua perkara yang gelap-gelap, supaya bangsa kita orang desa tidak menderita kesusahan. Ingatlah ini waktu mahal makanan, seharusnya pemerintah berdaya upaya semua sawah ditanami padi, tetapi tidak ditanami tebu seperti sekarang.


JANGAN TAKUT
Sinar Djawa, 11 April 1918

Sungguhpun amat berat orang bergerak memihak kepada orang yang lemah (orang yang tertindas), lihatlah adanya pemogokan – pemogokan yang berulang-ulang diwartakan dalam sinar ini. Disitu sudah menunjukkan bilangannya berpuluh-puluh koraban itu pemogokan, inilah memang sudah seharusnya. Sebab melawan kaum yang mempunyai pabrik-pabrik itu sama artinya melawan pemerintah yang tidak adil. Kalau kami menilai hal itu saya lalu ingat bunyinya buku : Om leven en vrijheid dan Zes maanden onder de commando’s. Buku-buku itu menunjukkan betapa haibatnya peperangan antara orang inggris dan orang belanda (booren) ada di Ziuid-Afrika. Karena pada masa itu orang-ourang yang ada di Zuid-Afrika (Kaapstad, Bloemfentein enz) merasa dihinakan oleh pemerintah Inggris.

Lantaran hal ini, maka disitu timbullah peperangan suara (surat kabar), yaitu fihaknya pemerintah dan fihaknya rakyat. Tidak jarang lagi kalau pada itu waktu Pemerintah Inggris memberi bantuan beberapa surat kabar yang terbit di Zuid Afrika, supaya surat-surat kabar itu bisa memihak pada pemerintah Inggris. Barangkali pemerintah sendiri juga membikin  surat kabar, sengaja dibuat melawan rakyat, inilah sudah boleh ditentukan. Tuan pembaca kami kira bisa mengira sendiri, seberapa beratkah pikulan redacteur-redacteur itu yang memihak kepada rakyat di dalam itu jaman peperangan suara di Zuid Afrika ? walaupun begitu, banyak anak-anak muda yang dengan sukanya sendiri turut membantu itu surat kabarnya rakyat, meskipun dia tahu juga, bahwa bantuannya itu hanya kekuatan yang kecil sekali. Tetapi kekuatan kecil itu kalau tertimbun-timbun jadi kekuatan yang besar!.

Apakah sebenarnya itu peperangan? Begitu barangkali seorang tuan pembaca bertanya. Ya, tidak lain itu peperangan juga rebutan makan, hidup, kekayaan, kemanusiaan, enz, enz. Adapun yang membikin besar itu peperangan, sebab rebutan parit mas (goudmijmen). Itu waktu banyak bangsa inggris yang lebih suka memihak Belanda (booren), karena perbuatan Inggris itu masa dipandang tidak adil oleh bangsanya sendiri. Begitu juga waktu pecah perang, banyak bangsa Inggris yang turut perang matian-matian memihak kepada booren. Begitulah orang yang tebal kemanusiaannya, dia tidak pandang bangsa, tetapi memandang kebaikan dan kejahatan !. Meskipun bangsa sendiri kalau sudah terang jahat juga dibinasakan begitu juga sebaliknya. Tidak saja pada itu waktu bangsa Inggris sama melawan bangsanya sendiri, tetapi bangsa Duitsch dan Franch juga ada yang membalas kepada orang Belanda (booren).

Sekarang kami hendak membicarakan peperangan suara di tanah kita Hindia yang seperti Zambrut ini. Apakah peperangan di Hindia sini akhirnya juga seperti peperangan  mencari makan di Zuid Afrika ? Ini masih jadi pertanyaan yang tidak mudah dijawab! Kami tahu ada juga bangsa kita anak Hindia yang lebih suka memihak kaum uang daripada memihak bangsanya yang sudah tertindas setengah mati, maar… jangan putus pengharapan Pembaca! Disini ada banyak sekali anak-anak muda yang berani membela kepada rakyat ,dan kalau perlu sampai berbatas yang penghabisan. Dari itu kita orang tidak usah takut dengan bangsa kita mahluk yang lidahnya panjang, lidah mana yang hanya perlu dibuat menjilat makanan yang tidak banyak, dan dia bekerja dibuat mesin melawan bangsanya sendiri yang ini waktu masih jadi injak-injakan. Bangsa apakah orang semacam ini ?! Itulah tuan pembaca bisa kasih nama sendiri! Sekarang ada lagi pertanyaan, yaitu tidak saban orang bisa menjawab itu pertanyaan  : Apakah di Hindia sini ada surat kabar yang dibantu kaum uang, supaya itu surat kabar bisa melawan surat kabarnya rakyat ? Ada! Tetapi nama surat kabar itu pembaca bisa mencari sendiri.

Dari itu saudara-saudara dan sekalian pembaca, sungguhpun berat sekali kita bertanding buat menghela bangsa kita yang tertindas, sebab kecuali kita mesti berani bertanding dengan kaum uang, juga dengan bangsa kita sendiri yang lidahnya panjang. Jadi sesungguhnya pada ini waktu kita orang tidak bisa cuma memegangi kebangsaan (Nationalisme saja, sebab bangsa kita masih ada yang jadi perkakas, melawan kepada kita sendiri. Jadi seharusnya kita juga mesti mempunyai hati kemanusiaan (Socialisme). Ingatlah siapa yang menindas kita?

Lain dari itu, kita memberi ingat kepada saudara-saudara, janganlah suka membaca sembarang surat kabar, pilihlah surat kabar yang betul-betul memihak kamu orang, tetapi yang tidak memihak kaum uang, sebab kalau tidak begitu, sudah boleh ditentukan, akhirnya kita orang Hindia tentu akan terjerumus di dalam lobang kesengsaraan yang hina sekali. Achir kalam kami berkata : NGANDEL, KANDEL, BANDEL, itulah gambar hatinya manusia yang tidak memanjangkan lidahnya, tetapi menunjukkan giginya yang amat tajam, dan kalau perlu……


NASEHAT UNTUK AMBTENAREN
Sinar Hindia, 21 Sepetember 1918

Sebagai tuan pembaca maklum, didalam Sinar hari Kemis 19/9/18 ada surat kiriman dari seorang perempuan istri mantri Polisi : Raden Ajoe Mohamad Soeprapto gebooren Soewardi di Ambarawa, surat mana yang semata-mata membela suaminya. Inilah sudah menunjukkan, bahwa fihak kita perempuan sekarang ini sudah suka turut campur kepada perkara-perkara yang diurus fihak lelaki. Saja tahu, bila R.A. Moh Soeprapto, seorang dari fihak perempuan, yang mengerti jalannya dunia kemajuan, yaitu memihak pada bangsa kita ini waktu baru diinjak-injak dan diperas olah bangsa-bangsa yang buas. Tetapi……ya, pembaca, ada tetapinya, apakah R.A. Moh Soeprapto itu sekarang bergerak di lapang jurnalistik Cuma hanya memihak suaminya atau akan membela kegunaan umum? Inilah masih menjadi pertanyaan.

Sebagai jurnalis saya mesti memihak orang yang terisap dan tertindas, inilah sudah barang tentu: tetapi sebagai Kaum Muda saya mesti memihak kepada fihak perempuan, sebab pada saat ini perempuan masih banyak yang dapat tindasan dari fihak lelaki, pada hal kemajuan kita perlu dapat bantuannya.

Perkara saudara Moh Soeprapto, mantri polisi di ambarawa diusik oleh saudara Kromo Leo di dalam Jawa Tengah, itulah sesuatu yang LUMRAH buat jaman sekarang, maar seorang istrinya orang yang terusik berani melawan kebenaran lakinya, itulah suatu perkara yang jarang sekali terdapat. Dari lebih itu perkara yang akan merebut kebenaran guna umum itu bukan saudara Soeprapto sendiri, tetapi istrinya, maka kita harus mengambil lain haluan mana yang tidak sampai membikin luka hati fihak perempuan. Sudah barang tentu saja perkara-perkara semacam ini kita kaum jurnalis mesti tidak suka bekerja membuta tuli, tetapi harus kita selidiki dengan betul-betul. Siapa yang salah kita salahkan siapa yang benar kita benarkan. Jadi kita selalu berdiri ada di neraca kebenaran. STAATSBLAD kalah dengan SOBAT kata orang kebanyakan. Tetapi buat kaum jurnalis, itu STAATSBLAD ada diatasnya SOBAT, mengertinya : meskipun sobat kalau membikin khianat kepada keperluan  umum mestinya jadi musuh kaum jurnalis.

Lantaran hal-hal itu kita kaum jurnalis minta dengan sangat saudara kita fihak perempuan yang lakinya menjabat pekerjaan ambtenaar B.B. atau lainnya, supaya mereka itu menyelidiki betul-betul tentang kelakuan suaminya, yang berhubung dengan rakyat. Sebab kalau tidak begitu tentu kita tidak bisa turut membela keperluan fihak perempuan. Tetapi kalau kita kaum jurnalis tahu, bahwa fihak perempuan itu berduduk ada di neraca kebenaran dan mengingati kemanusiaannya, sudah barang tentu kita akan memihak kepadanya, walaupun simpati bagaimana juga. Sebab kaum jurnalis pun mengerti, bila orang perempuan itu manusia seperti orang laki.

Barangkali tidak ada busuknya bila dia kaum jurnalis mesti memberi ingat kepada saudara kita yang jadi ambtenaar Gupermen, supaya mereka itu kalau melakukan pekerjaannya mesti memakai KEMANUSIAAN. Yang saya kata kemanusiaan itu : yang mengerti kesusahan kita orang bumiputra, manusia mana yang sekarang baru jadi injak-injakan dan diperas.

Ingat! Bahwa Gupermen itu suatu vereeniging, kemampuannya orang – orang dagang, yaitu orang yang mencari untung! Keuntungan mana yang didapat dari kita Bumiputra. Dari sebab kita anak Hindia ini digunakannya mencari keuntungan, maka kita tinggal kurus kering sebab darah kita di KOKOP dan daging kita dimakan oleh orang-orang yang buas!

Ingat! Kalau kita kurus kering tentu anak cucu kita tidak bisa gemuk !.

Apakah sebabnya begitu ?

Tidak lain, yaitu dari kejahatan KAPITALISME !

O! sungguh jahat kapitalisme itu, sebab bisa membikin buta orang yang terang matanya, bisa membikin tuli telinga yang baik, bisa membikin bingung orang yang pinter, bisa membikin baik orang-orang yang jahat! enz, enz.

Sekarang ini dunia dan manusia sudah rusak! Kalau manusia tidak suka minum darah manusia dan makan daging manusia, dikatakan JAHAT !!

Basta !!.


SAMA RASA SAMA RATA
Sinar Djawa 10 April 1918

Sair inillah dari pendjara,
Waktoe kami baroe dihoekoemnja,
Di-Weltevreden tempat tinggalnja,
Doea belas boelan poenja lama,

Ini boekan sair Indie Weerbaar,
Sair mana jang bisa mengantar,
Dalam boei jang tidak sebentar,
Membikin hatinja orang gentar,

Kami bersair boekan krontjongan,
Seperti si orang pelantjongan,
Mondar mandir kebingoengan,
Jaitoe pemoeda Semarangan,

Doeloe kita soeka krontjongan,
Tetapi sekarang soeka terbangan,
Dalam S.I. Semarang jang aman,
Bergerak keras ebeng-ebengan.

Ini sair nama; "Sama rasa"
"Dan Sama rata" itoelah njata,
Tapi boekan sair bangsanja,
Jang menghela kami dipendjara.

Didalam pendjara tidak enak,
Tertjere dengan istri dan anak,
Koempoel maling dan perampok banjak,
Seperti bangsanja si pengampak.

Tapi dia djoega bangsa orang,
Seperti manoesia jang memegang,
Koeasa dan harta benda orang,
Dengan berlakoe jang tidak terang.

Ada perampoek aloer dan kasar,
Djoega perampok ketjil dan besar,
Bertopeng beschaving dan terpeladjar,
Dengan berlakoe jang tidak terang.

Dia itoelah sama perampoeknja,
Minta orang dengan lakoe paksa,
Tidak mengingat kebangsaannja,
Bangsa manoesia didoenia.

Hal ini baik kami koentjikan,
Lain hal jang kami bitjarakan,
Perkara jang mesti difahamkan,
Dan akhirnja kita melakoekan.

Banjak orang jang mengetahoei,
Doea kali kami kena doeri,
Artikel wetboek jang menakoeti,
Djoega panasnja seperti api.

Kakik kami soeda sama loekak,
Kena doeri jang koeintjak-intjak,
Djoega palang-palang jang koedoepak,
Soedah ada sedikit terboekak.

Haraplah soedarakoe di tendang,
Semoea barang jang malang-malang,
Soepaja kita berdjalan senang,
Ketempat kita jang amat terang.

Boeat sebentar kami berhenti,
Didjalan perempat tempat kami,
Merasakan ketjapaian diri,
Sambil melihati djalan ini.

Djangan takoet kami poetoes hasa,
Merasakan kotoran doenia,
Seperti anak jang beloem oesia,
Dan beloem bangoen dari tidoernja.

Kami sampe didjalan perempat,
Kami berdjalan terlaloe tjepat,
Temen kita jang berdjalan lambat,
Ketinggal misih djaoeh amat.

Kami berniat berdjalan teroes,
Tetapi kami berasa aoes,
Adapoen penharapan ta’ poetoes,
Kaloe perloe boleh sampe mampoes.
Djalan jang koetoedjoe amat panas,
Banjak doeri poen anginnja keras,
Tali-tali mesti kami tatas,
Palang-palang djoega kami papas,

Soepaja djalannja SAMA RATA,
Jang berdjalan poen SAMA me RASA,
Enak dan senang bersama-sama,
Ja’toe: "Sama rasa, sama rata."

No comments:

Post a Comment