Wednesday, January 2, 2013

SOAL -SOAL DI SEKITAR KRISIS KAPITALIS

TENTANG ROESTAM EFFENDI   

Suatu minggu ditahun 1933, ketika Jerman dikuasai Adolf Hitler, Orang muda Hindia berpidato dalam sebuah rapat umum untuk pemilihan umum angota parlemen di Tiel.  Dalam rapat umum itu pemuda itu menuduh Hitler sebagai ‘Oorlogsmoordenaar’ (calon pembunuh perang).  

Karenanya pemerintah Belanda mengenakan delik, menghina kepala negara tetangga, pemuda itu diadili di kota itu juga. Karena kesal dengan sikap arogan sang hakim yang terlalu merendahkan dirinya, pemuda itu berkata. “En wat doen yullie, uitbeitter in mijn land?”.(Dan apa yang dilakukan Yullie, lebih baik di negerinya).  

Publik yang hadir dalam pengadilan itu bereaksi, mereka memberikan simpatinya pada pemuda itu dengan sorakan yang mempermalukan hakim tadi. Kendati dapat banyak simpati, tetap saja pemuda itu dijebloskan juga ke penjara. Bagi pemuda ini dikemudian hari, pemerintah Belanda dengan sengaja ingin menjegalnya sebagai anggota parlemen. Menurut ketentuan saat itu, orang terhukum tidak diperbolehkan menjadi anggota parlemen. Karena bukan terlibat kasus pidana atau perdata usaha pemerintah Belanda di negeri Belanda menghalangi pemuda itu naik ke kursi Tweede Kamer itupun gagal. Atas simpati sebagian rakyat Belanda lewat surat yang dikirim orang-orang Belanda yang simpati pada orang-orang Hindia, popularitas pemuda itu naik, dan akhirnya terpilih sebagai anggota parlemen.

 

Penindasan pemerintah kolonial terhadap Zeven Provincien, menimbulkan reaksi di Belanda. Kaum radikal lalu mengadakan demonstrasi besar-besaran. Suasana di parlemen juga panas karena pemberontakan itu. Ketika Rustam sedang membuat catatan, Jan Schouten dari kubu anti revolusioner yang mendukung tindakan refresif pemerintah kolonial, menurutnya pemerintah memang harus melakukan hal itu terhadap pemberontakan yang terlupakan dalam sejarah Indonesia itu. Ketika Jan Schoutman melontarkan kata-kata: “En de regering moet regeren!” (Pemerintahan harus memerintah)—maksud kalimat itu, pemerintah kolonial berhak menindas pemerontak.Bukan Rustam Effendi bila diam saja mendengar kalimat macam itu. Spontan Rustam melompat dan membalas kata-kata tadi dengan kalimat yang agak emosional: “En mijn volk moet zeker creperen?” (Dan bangsaku harus terus sengsara). Peserta sidang-pun terkejut dan terdiam mendengar kata-kata Rustam tadi.
 

Tahun 1935, Rustam menghadiri sebuah upacara pembukaan parlemen. Banyak yang bertanya mengapa dirinya hadir? Rustam sendiri agak cemas ketika berada ditengah-tengah kaum reaksioner yang diantara berseragam militer dengan embel-embel bintang kebesarannya. Biasanya, setelah ratu memberikan sambutan, semua hadirin bersorak “leve Oranje!” (hidup dinasti Oranje). Ketika itu pula Rustam berteriak “Indonesia Merdeka!”, hadirin-pun diliputi rasa panik oleh ulah Rustam yang tampak puas dengan ulanya itu. Ulah Rustam ini berbuah penganiayan polisi dan petugas keamanan yang tersebar dan bersembunyi dibalik-balik gorden. Rustam-pun babak belur atas teriakan yang berdasar dari keyakinannya itu. Harga bagi seorang yang terlalu nekad di kandang Singa. Itulah Rustam Effendi.
 

Tokoh radikal ini telah malang melintang dalam dunia pergerakan, sejak remaja. Masa mudanya diliputi kisah pergerakannya. Dia bukanlah jago kandang. Dimanapun, pada siapapun dia berani keras, apalagi pada penindasan pemerintah kolonial di Hindia Belanda. Separuh karirinya dalam pergerakannya dilalui di Eropa setelah pemebrontakan PKI di Silungkang gagal yang dengan gemilang ditumpas polisi Belanda dan KNIL. Rustam Effendi bukan pengecut dengan lari dari Sumatra Barat, dia tidak lari dari kenyataan, dengan pergi ke Belanda. Ke Negeri Belanda berarti memasuki kandang singa buas yang bisa menerkam dan menggigit kapan saja.
 

Rustam Effendi, kelahiran Padang, 13 Mei 1903, sebuah daerah yang cukup banyak melahirkan kaum pergerakan baik yang koperatif bahkan radikal dalam sejarah. RustamEffendi menikmati kebijakan politik etis dari pemerintah kolonial, dia mengenyam pendidikan dasarnya di Hollands Inlandsche School (SD dengan pengantar bahasa Belanda) di Padang. Setamat dari sekolah dasar, Rustam masuk Kweekschool (sekolah calon guru) di Bukittinggi—sebelumnya Tan Malaka pernah bersekolah disitu sebelum berangkat ke Negeri Belanda. Dari sekolah itu, dia meneruskan ke Hogare Kweekschool di Bandung, kendati tidak memperoleh diploma dari HKS, Rustam masih belajar lagi di beberapa lembaga pendidikan keguruan di Den Haag, ketika lari ke Belanda. Setidaknya Rustam pernah menempuh pendidikan di lagere Acte voor Onderwijs dan MO voor Ekonie, keduanya di Den Haag, Belanda. Hohe Schule für Journalistik, di Berlin. Pendidikan lain di Lenins Universiteit di Moskow.
 

Ketika Rustam Effendi masih muda dan menjalani sekolah menengah keguruannya di Bandung, adalah masa-masa kuartal pertama abad XX, masa-masa kolonial menjadi dewa atas tanah Hindia. Semua lini kehidupan adalah berbau kolonial, termasuk pendidikan.
Dalam politik pendidikan kolonial, siswa-siswa yang belajar di sekolah menengah, kejuruan maupun tinggi tidak pernah diajarkan ilmu atau soal-soal politik, sehingga dalam bidang ini kebanyakan siswa-siswa tidak mengerti sedikitpun tentang politik, termasuk Rustam sendiri. 
 


Ketika itu, Rustam duduk sebagai siswa di HKS (Hogare Kweek School) mempelajarinya dari ayahnya. Ayah Rustam adalah Sulaeman Effendi, salah satu tokoh propaganda NIP (Nationalis Indische Partij) pimpinan oleh Douwes Dekker, R.M. Suwardi Suryaningrat dan dr Cipto Mangunkusumo. Oleh sang ayah, Rustam sering dibawa oleh ayahnya berkunjung ke rumah orang-orang pergerakan tadi. Percakapan-percakapan dan diskusi orang-orang tua itu diamati Rustam, dari situ, sikap kritis dan benci pada orang-orang Belanda tumbuh dalam darah mudanya. Entah dirumah dr Cipto atau di rumah Douwes Dekker, untuk pertama kali Rustam mengenal Soekarno, yang kuliah di Technische Hoge School (sekolah tinggi tehnik) di Bandung. Kala itu hubungan Rustam dengan Soekarno cukup akrab sebagai kawan berdiskusi, hampir pembicaraan selalu diakhiri dengan ajakan Soekarno: “Ayo kita kita cari sate keluar, ambil angin!” katanya. Mereka berdua sama-sama prihatin dengan banyaknya organisasi-organisasi pemuda waktu itu bergerak sendiri-sendiri. Mereka mengibarkan dan mengikuti bendera kesukuannya masing-masing. Mereka antara lain: Jong Java; Jong nSumatranen Bond (JSB); Jong Minahasa; Sekar Rukun; Jong Ambon dan lain-lain.

Rustam sendiri waktu itu adalah anggota JSB, tetapi lama-lama dia tidak begitu yakin dengan corak kedaerahan organisasi-organisasi tadi. Ketika itu, belum ada format organisasi pemuda yang bergerak dan beridentitas sama dalam pergerakan, antara Soekarno dan Rustam juga belum terlintas bagaimana menyatukan mereka dalam satu wadah dan bergerak bersama. Terdorong keinginan hendak berbaur dengan pemuda-pemuda dari lain suku, Rustam-pun tertarik masuk perkumpulan DVI (Dienaren van Indie) yang dipimpin oleh dua orang Eropa, Ir Fournier dan Ir van Leeuwen. Anggota DVI ini
      
 

Sekitar tahun 1922 Rustam lulus dari HKS Bandung. Saat itu suasana dan gelombang politik kaum ‘non cooperation’ sedang panas. Ketika itu, berdasar keputusan departement van Onderwijs melalui telegram, Rustam telah diangkat sebagai guru kepala HIS di Siak SriIndrapura, Sumatra. Rustam dihadapkan pada dua pilihan, jadi guru dengan penghasilan baik, atau hidup sebagai orang pergerakan dengan segala resiko. Tanpa pikir panjang lagi dan siap menghadapi berbagai resiko yang akan dihadapinya Rustam memilih yang kedua. Tentusaja isi telegram itu tidak lagi dipedulikannya. Rustam tidak lagi ingin menjadi guru. Akibatnya Rustam tidak mendapatkan diploma guru-nya sebagai tamatan HKS Bandung.
 

Di tanah kelahirannya di Padang yang penuh dengan warna pergerakan, Rustam mulai dikenal sebagai ‘Jago Non’. Awalnya, menurut Soe Hok Gie dalam skripsinya Orang-orang Dipersimpangan Kiri Jalan, Rustam tidak berani berpolitik dan dicap sebagai koperator. Namun perlahan sebagai ‘anggota Inlander’ dalam gementeeraad (dewan kota) disana, dia mulai bersentuhan pemikiran non koperator. Terjadinya pemberontakan kaum komunis di Silungkang (1926). Rustam merasa, dirinya tidak ada sangkut pautnya dengan pemberontakan kaum komunis itu, sebab saya bukan komunis, namun PID—Politieke Intellingen Dienst: polisi yang mengawasi kaum pergerakan—berusaha menjebloskannya dalam barisan komunis pemberontak itu. Untuk menghindari hal terburuk, Rustam dengan terburu-buru memutuskan meninggalkan Indonesia dan pergi ke Belanda.   

Mengenai pemberontakan PKI yang gagagl itu, Rustam sangat tidak menyetujuinya, seperti halnya Tan Malaka. Rustam, menganggap pemberontakan PKI itu tidak memenuhi syarat-syarat obyektif, jadi mereka revolusi yang dicetuskan dari pertemuan di Prambanan tidak dipersiapkan secara matang.  Karenanya pemberontakan itu nyaris sia-sia dan menjadi bomerang bagi kaum pergerakan pasca pemeberontakan—dimana posisi kaum non koperator semakin terdesak. Seperginya Rustam dari Indonesia, tercetuslah Sumpah Pemuda, sebuah langkah pertama menuju persatuan pemuda-pemuda Indonesia dari suku-suku yang berbeda menjadi satu untuk sebuah kamunitas ‘Bangsa Indonesia’. Komunitas yang bukan lagi imajiner, tetapi nyata. Dikemudian hari Rustam yang saat iut di Eropa tidak menghadirinya.
 

Di Belanda Rustam ditampung oleh Perhimpunan Indonesia yang diketuai Muhamad Hatta.Dari Hatta , Rustam banyak memperoleh bimbingan politik. Di PI, Rustam diperbantukan di redaksi dan administrasi majalah ‘Perhimpuan Indonesia’. Seperti diketahui PI juga menjadi anggota perkumpulan Internasional ‘Liga menentang Imperialisme dan menunjang perjuangan kemerdekaan Nasional bangsa-bangsa yaqng tertindas’. Di Negeri Belanda, PI merupakan menjadi tumpuan penggerak dari eksistensi dan gerakan liga-nya orang pergerakan negeri yang tertindas itu. Rustam yang ditunjuk oleh Hatta sebagai penghubung antara PI dengan organisasi-organisasi lainnya mulai berhubungan dengan kaum radikal. Ada banyak organisasi radikal di Eropa, antara lain: ‘Sosialis kiri’, ‘Anti Militaris’, ‘Anarche Syndikalis’, Partai Pasifis, Komunis dan lain-lain, dengan sendirinya Rustam-pun terpengaruh. Disisi lain dirinya juga mempergunakan hubungan tersebut dengan baik, yakni memperluas propaganda pergerakan nasional di Eropa pada kaum –kaum radikal tadi.
 

Rustam berusaha memaksimalkan kerjasama dengan mereka, baik dalam rapat terbuka maupun lewat pena. Kepada majalah-majalah kaum radikal Eropa itu, Rustam berusaha menuangkan semaksimal mungkin pemikirannya. Tulisan Rustam pernah dimuat di “Links Socialist’, ‘De Opbouws’, ‘De Anti Muiliteristi, ‘De Branding’, dan lain-lain milik kaum radikal itu. Dipastikan hubungan Rustam dengan kaum radikal Eropa itu menyeretnya ke arah radikalisme. Pastinya ini tidak disukai Hatta dan bisa berkibat buruk pada ideologi PI dimasa depan. Ketika Hatta hendak menyudahi studinya dan berencana pulang ke Hindia, pimpinan PI-pun diserahkan pada Abdul Syukur. Saynmgnya, pengganti Hatta ini kurang mempunyai wibawa dimata para anggota PI yang sebagian mulai radikal, termasuk Rustam. Dimasamasa akhir inilah Hatta menulis karangannya dalam majalah PI, didalamnya tersisip kalimat, ” kami tidak ingin menjadi kuda penarik kereta Moskow.” Kalimat ini tentunya menimbulkan topan reaksi dikalangan orang-orang Komunis dalam tubuh PI. 

Dilingkungan PI sendiri timbul kegelisahan, yang meluap-luap dan berubah menjadi oposisi yang kuat. Ini bukan dipandang  dari kepentingan komunis, melainkan dari sudut praktis politik. Menurut Rustam, jika PI atau pergerakan Indonesia lainnya memusuhi Moskow kala itu,maka kita dunia Internasional macam komintern tidak akan ada sokongan positif dari pihak mereka. Pihak oposisi ini yang dipelopori oleh Abdul Madjid, Setiadjid dan Rustam sendiri. Mereka berhasil dalam suatu rapat pleno, setelah melalui perdebatan sengit, mengalahkan Hatta dan Sutan Syahrir dengan suara terbanyak. Sejak itu PI di Belanda mulai dikendalikan oleh ‘tiga serangkai’ (Abdul Madjid, Setiadjid dan Rustam). Mereka-pun akhirnya terjerumus mengikuti jalur Moscow (Komintern), seperti yang dihindari atau mungkin ditakuti Hatta.   

Aktifitas dan popularitas Rustam dikalangan buruh Belanda , rupanya menarik perhatian Moscow juga, yang melalui CPN (Partai Komunis Belanda) mencalonkan Rustam untuk menjadi anggota Tweede kamer der Staten General. Untuk alasan itu pula Rustam-pun menjadi anggota resmi dan terbuka dari CPN itu, sedangkan kawan-kawan seperjuangan yang lain tetap dalam PI yang sebagiannya adalah anggota ilegal. Sebelum Rustam, beberapa orang-orang Indonesia pernah dicalonkan oleh Partai Komunis Belanda, pada tiap-tiap pemilihan umum, mulai dari Tan Malaka, Alimin, Semaun, Musso, Darsono dan lain-lain. Namun tidak ada satu-pun dari mereka yang terpilih. Dalam sejarah, Rustamlah orang Indonesia pertama yang menduduki kursi palemen Belanda itu. Saat itu, Rustam tampil sebagai anggota termuda dari semua anggota Parlemen.
 

Rustam akhirnya berusaha melepaskan diri dari pemgaruh Moscow yang dominan terhadap pergerakan radikal Indomnesia di Belanda. Moscow berambisi, Negara baru yang merdeka ditanah Hindia adalah negara komunis, bukan feodal borjuis. Terbukti Moscow mengutus Musso ditahun 1948.
 

Rustam menginginkan sebuah koalisi antara kelompok sosialis yang ada, ketika sebuah ide untuk menyatukan kaum sosialis di Negeri Belanda maupun di Hindia Belanda ditolak oleh segolongan orang-orang Eropa dari pimpinan buruhreformis dan sosial demokrat Belanda, Rustam amat kecewa sekali dengan sikap orang-orang Belanda itu. Orang-orang Belanda itu dicap sebagai ‘pimpinan sayap kanan SDAP (Belanda) yang sombong’. Menurut Rustam, penolakan kerjasama itu, sama saja memberikan kesempatan pada pemeritahan Colijn untuk berlaku reaksioner pada kaum pergerakan. 

Disisi lain hal ini juga merugikan rakyat Hindia yang tarap hidup-nya dibawah standar dan semakin menjerumuskan mereka dalam kelaparan, bahkan akan memiskinkan kaum buruh di Negeri Belanda juga. Rustam bisa bergembira ketika konsentrasi kekuatan rakyat anti imperialisme dan kolonialisasi terbentuk di Indonesia, yakni fusi pada bulan Desember 1935, antara Partai Bangsa Indonesia pimpinan Soetomo dengan Boedi Oetomo—yang awalnya didirikan dan dipimpin Soetomo juga. Fusi ini terus berkembang dengan bergabungnya organisasi kecil intelektual macam: Kelompok Intelektual Banten Tirtajasa, Kaoem Betawi, Sarekat Soematra, Partai Sarekat Selebes (Parsas), juga anggota-anggota Partai Rakyat Indonesia. Formasi ini adalah front nasional bernama Partai Indonesia Raya. Biasa disingkat Parindra. Partai yang dipimpin oleh orang orang koperatif macam Thamrin, Soetomo dan lainnya. Walau tidak sepenuhnya seperti yang diimpikannya, karena partai ini bersifat elitis borjuis, Rustam bisa gembira sejenak.
   
  • Roestam Effendi,Menyusuri Kenang-kenangan Perjuangan Masa Muda,Bunga Rampai Sumpah Pemuda dihimpun oleh Yayasan Gedung-gedung Bersejarah Jakarta, Balai  Pustaka  
  • Soe Hok Gie, Orang-orang Dipersimpangan Kiri Jalan, Yogyakarta, Bentang, 1997  
  • Rustam Effendi, Sedikit Penjelasan Soal-soal Trotskisme, Jakarta, Patriot, 1950  
  • Bob Hering. M.H. Thamrin and His Quest For Indonesian Nationshood,  ab. Harsono Soetedjo, M.H. Thamrin: Membangun Nasionalisme Indonesia, Jakarta, Hasta Mitra, 2003


SOAL-SOAL DISEKITAR KRISIS-KAPITALIS!
  
Source : http://arie-widodo.blogspot.com/


KATA PENDAHULUAN

Uraian tentang so'al krisis ini sebenarnja adalah bahan2 adjaran jang kita susun untuk kegunaan kursus2 kaders. Di zaman kekuasaan „Sajap kiri," dibawah pimpinan Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin. Ditulis didalam suasana perlawanan jang sengit diwaktu itu, sehingga banjak perkataan2 jang tadjam2 kita pergunakan, terminologie jang sekarang kiranja tidak perlu kita pakaikan.

Djuga sudah pernah tulisan ini dimuat dalam madjallah „17 Agustus"!

Atas permintaan kawan2 sepaham, dan guna memenuhi rentetan „Peladjaran Populer", maka uraian ini dikeluarkan appart sebagai suatu brosur lagi, sehingga siapa2 jang tiada berkesempatan mempunjai nomor2 „17 Agustus" jang lengkap, atau jang tiadadapat tertjapai oleh lingkungan para pembaca dari majalah tersebut, diberi kesempatan dengan penerbitan karangan ini sebagai brosur, untuk mendalami soal-soal jang diuraikan didalamnja.

Guna keasliannja uraian ini terpaksa tidak sedikitpun kita rubah. Berkembangnja paham2 dan anggapan opportunis dikalangan Rakjat kita pada masa dewasa ini, membutuhkan sekali penjebaran teori jang tegas dan djelas dari pihak kita seluas-luasnja.

Djakarta, April 1950

ISI

Bertentangan dengan anggapan ekonom2 bordjuis, maka Marxisme berpendapatan,bahwa stelsel kapitalis itu harus mendjalani krisis. Krisis itu timbul pada suatu tempo,dan datang seperti berombak-ombak. Dengan ini kita maksudkan bahwa krisis kapitalis itu bersifat terus-menerus serta silangberganti, selama proses produksi kapitalis itu diselenggarakan.

Dalam penjelidikan Marxisme, maka tidak dapat ataupuni sekali tidak mungkin stelsel itu dipikirkan zonder adanja krisis. Lebih lagi dari pada itu. Marxisme mengambil kesimpulan lebih landjut, bahwa KRISIS itu sebenarnja adalah sjarat dan akibat dari proses produksi kapitalis itu, jang satu dengan lainnja tidak dapat dipisah2-kan.

Teori ekonomi bordjuis, seperti sama2 diketahui, mengadjarkan, bahwa tiada perluatau tiada mesti krisis itu ada dalam proses produksi kapitalis, asal sadja pandai orang menjelenggarakannja. Setidak2-nja ahli2 ekonomi bordjuis selalu mempertahankan,bahwa segala kesulitan dan kekalutan krisis kapitalis itu dapat dikendorkan akibat2-nja.

Berdasar atas kejakinan diatas, maka itulah sebab2-nja tiap2 ekonom bordjuis, terlepas dari anti-atau sympathienja kepada kaum buruh atau kaum modal mau, tidak mau, mestilah atau sekurang2-nja mentjoba mempertahankan teori2 tentang memperbaiki nasib masjarakat itu dengan djalan „menjempurnakan" stelsel kapitalis tersebut. („Kapitalisme in perfection", „Rein Kapitalismus", „Ultra-Kapitalisme", dan teori2 lainnja jang bersamaan maksudnja.)

Dibelakang dapat kita undjukkan dengan djelas, apa sebabnja teori2 jang semuluk2 itu tiada dapat dipertahankan dalam prakteknja, karena memanglah so'al krisis itu, bukanlah so'al bodoh atau pandai orang jang mendjalankan dan memimpin poses produksi kapitalis itu.

Marxisme tidak sadja beranggapan, bahwa KRISIS itu harus timbul dalam proses produksi kapitalistis itu, malahan mengatakan pula, bahasa ombak2-nja KRISIS itu semangkin lama semangkin dekat djaraknja dan jang lebih penting lagi, ialah bahwa akan semangkin dahsjat pula akibatnja. Seperti nanti kita uraikan lebih djauh, maka dengan perkataan semangkin dahsjat dan melarat akan akibat KRISIS2 itu, tiada lain jang dimaksudkan, akibatnja bagi kaum perkerdja diseluruh dunia. Djadinja tidak bagi beberapa kaum modal dan radja2 uang dimana KRISIS itu sebenarnja suatu „phase istimewa" untuk memperbesar untung mereka, sekalipun so'al ini belum dapat dipahamkan setjara sepintas lalu. Baiklah, nanti kita uraikan lebih landjut. Baiklah nanti kita uraikan lebih lanjut.

Beralasan atas penjelidikan dan kesimpulan diatas, maka Marxisme berpendapatan,bahwa kapitalisme ini tidak boleh serta tidak dapat dipertahankan kedudukannja lebih lama. Untuk kaum pekerdja jang berdjuta2-an djumlahnja itu tidak boleh dipertahankan, dan djuga untuk kepentingan si kaum bordjuis sekalipun tidak akan dapat dipertahankan. Kejakinan ini menjebabkan Marxisme mengambil suatu kesimpulan jang tepat, jaitu, kalau kita hendak memperbaiki nasib manusia, hendak mengamankan dan memakmurkan dunia seluruhnja, maka kapitalisme, jang sudah bobrok itu, jang ternjata setjara teoretis dan praktis tidak dapat dipertahankan lagi, dan terbukti sekarang sudah tidak sesuai dan selaras lagi dengan zamannja mesti dihantjurkan, mesti dikikis habis2 dari muka bumi ini. Karena inilah satu2nja sjarat untuk melepaskan manusia itu dari gangguan dan penderitaan KRISIS kapitalis tersebut.

Dengan teori „Kelebihan-nilai" (Mehrwert" atau „surplus value"), jaitu uraian tenang „pembuahan untung", maka Marxisme dapat membuktikan dengan tegas, bahwa stelsel kapitalis itu, jaitu tjara penghasilan kapitalistis jang sekarang ini, adalah suatu sistem pemerasan darah dan keringat kaum perkerdja. Tentang kebenaran teori „Mehrwert" dari Karl Marx itu, tidak banjak lagi ekonom2 bordjuis jang „ernstig" dapat menjangkalnja. Setjara perilmuan (wetensehappelijk) memanglah teori tersebut sampai sekarang ini belum dapat diruntuhkan oleh siapapun djuga.

Kelitjinan dari ahli2 ekonom bordjuis, bukanlah terletaknja dalam pandai mereka membatalkan atau menolak kebenaran teori Karl Marx, akan tetapi dalam pandainja mereka memalsukan serta memutar-balikkan teori tersebut. (Tentang soal-soal "Mehwert" ini, batjalah tulisan kita! "Soal-soal tentang sistem kapitalis").

          Dengan ataupun zonder KRISIS, sistem kapitalistis itu tetap menguntungkan si kaum modal, serta akan merugikan si kaum perkerdja. Oleh sebab itu sudah semestinja kaum bordjuis, jang hidup dari sistem pemerasan tersebut, mempertahankan kapitalisme itu mati2-an, sekalipun diketahuinja atau tampak olehnja, bahwa stelsel itu banjak sekali tjatjat2-nja. Sebaliknja tiap2 kaum buruh, jang tiada sedikit djuga mendapat menfaat dan kebaikan dari sistem produksi kapitalis itu, mau tidak mau terpaksa mentjari akal hendak menghantjurkannja, sekalipun tampak djuga dimatanja, bahwa disana-sini ada anasir2 jang menarik dan meraju hati mereka sendiri.

Hantjurnja masjarakat kapitalis itu, berarti djuga hantjurnja kekuasaan dan kemegahan si kaum modal tadi. Djadi tiada perlu diherankan, kalau si bordjuis mengadakan tentara, polisi, undang2; pendjara, pengadilan, para ambtenar, dsb. semata2 untuk pembela masjarakat mereka, untuk mempertahankan kekuasaan mereka sendiri dari serang2-an dari pihak rakjat perkerdja, jang tergentjet dan digentjetmereka. (Sekiranja ada pemberontakan rakjat, pemogokan buruh, demonstrasi2 rakjat, terhadap peraturan2 bordjuis jang tiada menjenangkan rakjat djelata itu.)

Baiklah, ini ditempat lain kita djelaskan. Supaja djentera2 perkosaan diatas tiada lantas perlu dipergunakan, maka kaum bordjuis terpaksa giat mengembangkan bermatjam2 teori dikalangan rakjat perkerdja, jang udjudnja tidak lain dari pada hendak menjabarkan rakjat, hendak menidurkan hati marah rakjat jang banjak.

       Untuk keperluan „ideologisehe pacificatie" itu, maka kaum bordjuis menggadji dan memingit ahli2-pemikir serta professor2 dan tjerdik-pandai lainnja, supaja mereka menjusun dan memikirkan teori2 baru, jang udjudnja tiada lain dari pada pembela stelsel kapitalis itu, setidak2-nja untuk membelokkan perhatian si kaum proletar chususnja dan kaum perkerdja umumnja dari pada keharusan tugas kewadjiban mereka, jaitu menghantjurkan susunan kapitalis tersebut. Susunan kapitalisme itu hanja dapat dihantjurkan dengan djalan „REVOLUSI" sadja, dan tidaklah dengan. merawak2-kan „DEMOKRASI" semata2, sekalipun tiada pada masa dan tempatnja.

Banjak sekali muslihat dan teori jang dipergunakan oleh kaum bordjuis untuk mematahkan hati kaum proletar melakukan revolusi. Dimana dan diwaktu revolusi itu sudah dimulai oleh rakjat perkerdja, maka kaum bordjuis atau agen2 mereka dalam kalangan rakjat pekerdja berichtiar segiat2-nja supaja revolusi itu djanganditeruskan, setidak2-nja djangan diteruskan dengan sendjata, tetapi dengan mulut ditjorong radio sadja. Tragiek jang sedemikian itu sudah kita alami di Indonesia ditahun 1945 dan sesudahnja. Baiklah ini sudah sama kita ma'lumi.

Salah suatu teori2 bordjuis, jang umum, serta gemar di sebar2-kan dikalangan rakjat-djelata, ialah tentang kemungkinan penglaksanaan proses-produksi kapitalis itu dengan zonder adanja KRISIS. Benarkah teori ini? Dapatkah hal ini dilaksanakan? Atas pertanjaan2 ini, kita sengadja disini menguraikan so'al2 Krisis itu sedjelas mungkin, agar dapat dipertimbangkan dan diperbintjangkan dikalangan kaum perkerdja kita.

        Seperti sama2 kita ketahui, maka menurut econom-econom bordjuisnasional bahwa KRISIS itu seolah2 suatu akibat dari kekurangan sempurna penjelenggaraan produksi kapitalis itu, dan bukanlah suatu sjarat, dan keharusan dari sistem tersebut. Ekonom2 bordjuis-nasional lazim menganggap dan mengadjarkan, bahwa KRISIS itu semata2 suatu „kebetulan" sadja („toevalligheid"), oleh sebab orang tiada pandai mengatur dan menjusun produksi itu, karena, demikianlah bunji uraian mereka, orang tiada mau memakaikan „rentjana".

Dengan anggapan jang sematjam diatas, maka sudah tentu kaum bordjuis atau paham2 mereka mengambil kesimpulan, bahwa KRISIS itu dapat diredakan, dihindarkan, dan malahan dapat dihilangkan sama sekali, seandainja sadja orang mau merantjang dan memakai „rentjana" dalam melaksanakan proses produksi kapitalis itu. Dengan djalan demikian timbullah berdjenis matjam teori bordjuistis, jang dikemukakan sebagai „PLANWIRTSCHAFT" atau „Ekonomi jang berentjana", "ORGANISIERTE STAATSKAPITALISMUS" (Staats-kapitalisme jang tersusun"), „REIN KAPITALISMUS" („Kapitalisme jang Murni"), „KOLLEKTIVWIRTSCHAFT atau „Ekonomi bergotong-rojong”, „COOPERATIVE ECONOMIE". New-Deal, Geleide-ekonomie, dsb. dsb., terlampau banjak ragamnja untuk disebutkan semuanja disini.

Dalam segala teori2 bordjuis atau bordjuis-ketjil, jang kita sebutkan diatas tadi, bagaimanapun djuga banjaknja perubahan jang dipikirkan atau dikehendaki mereka, akan tetapi segala2 itu hanja mengenai organisasi atau administrasi produksi dan distribusi, artinja tidak menjinggung2 prinsipnja produksi dan distribusi, jang kapitalistis itu.

Segala teori2 jang disebarkan, itu, dalam berdjenis matjam „versie" dan „visie", rata2 tidak mengganggu dan merubah soal „milik pribadi atas alat2 produksi masjarakat" kita, jang sebetulnja mendjadi sendi dari ekonomi kapitalistis itu. Oleh karena itu segala perubahan jang diusulkan atau dikerdjakan itu tidak sedikit djuga merubah sifat2 dan oleh karena itu djuga akibat2-nja ekonomi kapitalis tersebut. Nama2 dan etiket2 .diatas, tidak sedikit djuga merubah proses produksi kapitalis itu, jang tjuma dilandjutkan menurut methode dan tjara2 jang baru dan berlainan.

Diwaktu2 masjarakat dan perdjalanan produksi kapitalis itu sangat terantjam oleh bahaja2 krisis jang haat dan genting sekali, maka selalu kaum bordjuis atau sida2-nja jang sudah menjelundup masuk kalangan kaum perkerdja muntjul dengan teori2 „ekonomi baru", jang katanja dapat membereskan kekalutan dan kekatjauan ekonomi jang sudah timbul itu, jang katanja sanggup memperbaiki nasib rakjat perkerdja jang berdjutaan kelaparan itu.

Asal sadja rakjat itu mau menarik ikat pinggangnja lebih kentjang dahulu, mau sabar sadja dahulu dan mau ta'at atau patuh kepada si Bordjuis, jug hendak mendjalankan teori ekonomi Baru untuk keperluan rakjat, katanja. „Djangan ribut, djangan mengadakan perdjuangan kelas, djangan berevolusi dan bertarung2-an, berilah kita kesempatan untuk mengaso dahulu dan membangun, serta bersatulah semuanja dibelakang kita untuk memperkokoh „demokrasi" lebih dahulu, dsb. dsb., dan sekaliannja itu kelak akan mendjadi beres." demikianlah selalu dan lazim disorak2-kan oleh kaum bordjuis kepada umum, djikalau mereka dalam kekalutan dam ketakutan.

Kita teringat diwaktu sesudah perperangan-dunia jang pertama, dimana kedudukan kapitalisme di Eropah sudah morat-marit, jang terantjam keras oleh bahaja revolusi sosial. Maka diwaktu itu tampillah kemuka para-teoretici ala Kautsky jang berdjenis2-an kalibernja, mengemukakan teori2 ekonomi jang muluk2, jang katanja lebih baik dan mudjarab dari pada teori „DIKTATUR PROLETAR", Hilferding, seorang „persona grata" dalam kalangan' sosialdemokrasi Djerman serta diluar itu, menulis dalam kitabnja jang beratusan halaman itu „Das Finanz-kapital", suatu „perspektip baru", jaitu tentang kemungkinan produksi kapitalis zonder KRISIS. „Ein krisenloser Gang der kapitalistischen Produktion auf erweiterter Stufenleiter ware moglich, wenn Disproportionen vermieden wurden" (h. 318).

Disamping Hilferding ini berteori pula Otto Bauer di Oesteria tentang „organisierte Staatskapitalismus", jang akan meluntjurkan rakjat perkerdja zonder revolusi kedalam surge sosialisme. Di Inggeris orang sibuk memperdebatkan „demokrasi ekonomi" dikalangan „Sajap Kiri" dari Partai Labour. „Planwirtschaft" dari kaum sosial-reformisten ala Hilferding, Naphtali, Braunthal, Otto Bauer, dll.-nja itu, seperti sama diketahui, didjadikan pokok dan batu lontjatan dari ekonomi fasis di Eropah. Teori2 Hitler cs. di Djerman, teori ekonomi Dolfuss-Schussnig di Oesteria, tjita2 ekonomi Benito Mussolini di Italia, sebenarnja tidak lain dari pada teori ekonomi kaum sosial-reformisten tadi, jaitu jang berpendapatan, bahwa mungkin proses kapitalis itu dilaksanakan zonder KRISIS. Hanja kaum fasisten melaksanakan teori tersebut lebih konsekwen dan lebih kedjam.

Diwaktu petjahnja krisis dunia ditahun 1929-1933 djuga Amerika terpaksa mentjoba untungnja dengan penglaksanaan suatu- „Planwirtschaft" jang merupakan politik ekonomi N.R.A. dan New Deal, jang di-experimenteer setjara besar2-an.  Di Belgia muntjul „Rentjana De Man" dan Belanda ikut2-an pula dengan „Rentjana-Kerdja" dari kaum sosial-demokrasi.

Sekalian akibat dari usaha bordjuis dan bordjuis-ketjil itu telah sama2 kita persaksikan dengan mata dan kepala sendiri. Tiap2 „Planwirtschaft" jang disandarkan kepada prinsip kapitalistis, artinja kepada „hak milik atas alat2 produksi masjarakat" itu, ternjata dengan bukti2 jang tiada dapat dibantah bahwa ia tiada sadja gagal dan mesti gagal, bahwa ia tiada sadja tidak sanggup menolak KRISIS kapitalis itu, akan tetapi malahan lebih lagi daripada itu.

„Plantwirtschaft" jang sematjam itu, tjuma bisa memperhebat kekalutan, memperdalam kesulitan ekonomi, serta mempertinggi kemelaratan rakjat jang telah ada, jang achir2nja rnau tidak mau akan bermuara kepada perperangan. Akan tetapi djuga perperangan ini tidak meringankan beban ekonomi dunia sedikit djugapun,, bahkan akan mempertadjam pertentanggan kepentingan jang menindas dan jang tertindas, artinja akan mempertadjam pertentangan-kelas.

Sekalipun ini, maupun setjara teoretis atau setjara praktis, sudah berkali2 dibuktikan dengan kenjataan, jang tidak dapat ditolak lagi, tetapi kaum bordjuis Indonesia dan para ekonom mereka, karena hendak mentjari pudjian dan persetudjuan dengan kaum imperialis, tampil lagi kemuka rakjat-djelata dengan menggembor2-kan „ekonomi, jang berentjana", „ekonomi-demokrasi" atau „ekonomi gotong-rojong", zonder sedikit djuga merubah sifatnja produksi jang ada. (Moh. Hatta). Ir. Soekarno, jang rupanja merasa, bahwa segala teori ekonomi Drs. Moh Hatta tidak akan lantas bisa ditelan bulat2 oleh rakjat murba, perlu mem-pantjasilakan" terminologie, jang sangat muluk sekali, jaitu dengan mempersilat-belitkan kata „politik-economische demokratie", jang artinja tiada lain dari pada „nonsens dari segala nonsens". Sajang sekali dongeng2-an ekonomi lama, jang sekarang oleh para-ekonom dan politici Indonesia dibarui dengan penempelan etiket2 dan merk2 baru, mendapat pasaran lagi dikalangan bordjuis-ketjil di negeri kita ini, sehingga sandiwara mereka ditelan mentah2 oleh rakjat jang belum begitu kritisch.

      Untuk meneruskan sandiwara ekonomi tersebut, maka kementerian kemakmuran dibawah pimpinan p.j.m. A.K. Gani telah „merantjang plan-plan sekian tahun", jang katanja ditjiptakan dan dimimpikan oleh suatu „Braintrust" istimewa. Para ekonom, jang sekarang sibuk menjusun plan diatas kertas, merantjang bermatjam rentjana dalam pikiran dan otak masing2, dengan tidak sedikit djuga merubah stelsel kapitalis jang ada itu, ataupun dengan harapan akan bias mempertahankan stelsel tersebut, samalah artinja dengan segerombolan andjing jang menggonggong ditengah malam, karena hendak mengharapkan djatuhnja bulan purnama. Tetapi siasat ini memang baik untuk merasa perhatian kaum jang berdjuang dengan sendjata.

Dalam suasana kekalutan dan pertentangan kapitalis-imperialis dunia sekarang ini, jang amat hebat dan tadjamnja itu seperti jang belum pernah dialami sedjarah masjarakat kapitalis, membabi buta terus2-an mengotjehkan dan menjandiwarakan „plan2 ekonomi" jang muluk2, adalah sama artinja dengan membangun istana bajang2 diatas laut, jang saban djam dan waktu dapat dihembus oleh taupan realitet.

Stelsel kapitalis, jang kemungkinan bangunannja di-impikan oleh para ekonom bordjuistis di Indonesia kita ini, maupun dengan atau zonder tolongan imperialis dari luar, tidak dapat ditegakkan dinegeri kita ini sebagai sjarat untuk memakmurkan dan menjelamatkan rakjat djelata Indonesia.

          Membangun kapitalisme di Indonesia pada sekarang ini, dinegeri jang sudah berabad2 diperas oleh kaum imperialis dengan tjara luar-biasa, sehingga djutaan rakjat kita sudah tidak mempunjai apa2 lagi, selain dari nama rakjat telanjangan, adalah sama artinja dengan menumpukkan majat hidup guna dikorbankan kepada kebutuhan kaum imperialis. Terlebih2 lagi tampak buasnja perbuatan bordjuis itu hendak memeras rakjat djelata itu, kalau kita mengingat, bahwa alat2 produksi jang penting2 dan sumber2 kekajaan Indonesia, jang tadinja diperoleh oleh si imperialis dari tenaga, keringat dan darahnja rakjat perkerdja bangsa Indonesia, didalam revolusi ini sudah diduduki dan dimiliki rakjat, sekarang akan dipersembahkan kembali kepada perampok2 atau garong2 imperialis modern itu.

Djikalau si kaum bordjuis atau tjalon2 bordjuis Indonesia merentjanakan „planekonom" bermatjam2 tjorak dan ragam, itu sudah memang pada tempatnja, malahan sudah semestinja. Akan tetapi jika mereka jang menamakan dirinja „SOSIALIS", mereka jang mendada2-kan dirinja sebagai „MARXIST" dan sebagai „REVOLUSIONERRRR" jang katanja berpaham „PROLETARIS", dan hendak melaksanakan perdjuangan-kelas, tetapi ikut serta menggembor2-kan „pembangunan negara dan masjarakat kapitalis" pada masa dewasa ini, jaitu didalam waktu bordjuis Indonesia sedang sibuk memperdjual-belikan Indonesia, kepada imperialis asing, dengan djalan „rundingberunding" dan „berserimpi2-an", maka adalah mereka itu tidak sadja berchianat kepada rakjat perkerdja Indonesia, dan kaum proletar diluar negeri, akan tetapi mereka malahan sudah berchianat kepada diri dan prinsip sendiri. Mereka dalam hakekatnja berchianat kepada Marxisme, jang sedang dipersundalkannja kepada si kaum bordjuis.

Karena kita djangan melupakan, bahwa tiap2 pertolongan atau sokongan untuk ikut membangun serta memperkokoh negara atau masjarakat kapitalis itu, tidak lain artinja dari pada ikut menegakkan dan membangun serta memperkuat kekuasaan si bordjuis. Menolong menegakkan dan memperkuat kekuasaan si bordjuis, artinja tidak lain dari pada menolong rnenghantjurkan dan melemahkan tenaga proletar.

Tiap2 orang jang berpikir setjara dialectisch mengerti akan soal diatas ini, setidak tidaknja mudah memahamkan logika, jang sedjelas itu. Hanjalah setjara „sofistisch" dan menurut „eklecticisme", ataupun setjara „rnechanisch materialistisch" sadja orang bias beranggapan, bahwa dalam suasana pertentangan-kelas itu, dengan bertambahnja kekuasaan bordjuis itu, mungkin pula berarti bertambahnja kekuasaan kaum proletar. Rupanja kaum opportunisten jang memimpin „Sajap Kiri" di Indonesia ini, jang tampaknja, mendapat instruksi dari kawan sepaham mereka di Belanda, di London atau di Washington, tiada memasangkan atau tiada mau dan tiada pandai memasangkan dialetika jang sebenarnja, sehingga mereka lebih mementingkan „pembangunan nasional" dalam pengertian ,pembangunan kapitalis" di Indonesia ini, dari pada mementingkan „pembangunan nasional" dalam pengertian „pembangunan sosialis", setidak2-nja „melemahkan susunan kapitalisme".

Disinilah letaknja kechilafan mereka, Seandainja proses-produksi kapitalis itu mungkin membuahkan keadaan, bahwa tiap2 penguatan kapitalisme, tiap2 penguatan kekuasaan si bordjuis sama artinja ataupun sedjadjar akibatnja dengan penguatan tenaga dan kekuasaan kaum proletar, maka kalau memang bisa benar demikian hasil2 perdjalanan kapitalisme itu, sudah tentu tidak perlu lagi kita menentang stelsel kapitalis fersebut. Kalau benar demikian, nah marilah kita semua rame2 berhaleluja mendjeritkan „Hiduplah Kapitalisme sampai abadi diachir zaman." Kalau benar demikian duduk2-nja so'al antikapitalis itu, nah marilah kita bersama2 menguburkan Marxisme, djadi ta' perlu lagi, Marxisme" jang sebenarnja itu dipalsukan.

Kalau betul tiap2 bertambah kokohnja stelsel kapitalisme itu, sama artinja dengan bertambah kuatnja tenaga proletar, jaitu dalam pengertian relatief, maka ta' perlu lagi kita menggalang partai2 untuk melaksanakan perdjuangan rakjat, ta' perlu lagi kita memakai "insigne" palu-arit, ta' perlu lagi kita repot memperdebatkan dan mengotjehkan so'al „Sosialisme", „Komunisme", „Leninisme", „Stalinisme", „Sovjetisme", dsb. dsb. Marilah kita berterang2-an sadja menjanjikan lagu-lagu bordjuistis,mendewa2-kan Ford, Morgan, Rockefeller cs, serta berterus terang menggerahkan rakjat Indonesia supaja menjembah “Berhala Modal".

Karena hendak ikut serta membangunkan dan memperkokoh stelsel kapitalisme kembali, maka kaum opportunis jang telah berhasil merampas pimpinan „Sajap Kiri", terpaksa berkompromi dengan imperialis asing terpaksa berkompromi dengan bordjuis sendiri, jang disandarkan kepada „PERSATUAN" bordjuis dan „DEMOKRASI" kapitalis.
Dengan sembojan2 palsu, seperti membangun „demokrasi ekonomis", mempertahankan “Pembangunan Nasional" dsb. dsb., pemimpin2 sosial-opportunis di Indonesia tidak lain menundjukkan ichtiar mereka kepada penjelenggaraan „Staatskapitalisme jang murni", jang diharapkan mereka dapat dilaksanakan zonder KRISIS dan PERDJUANGAN-KELAS.

Dengan mengemukakan sembojan PERSATUAN BANGSA mereka mentjdba sekali lagi mempraktekkan teori Kautsky, Bernstein, Hilferding, Henderson dll.
Sesudah peperangan dunia jang ke II ini. Segala sifat2 opportunis kanan tadi ditutupi dengan djandji2-an jang radikal, diseludungi dengan tuduhan2 terhadap orang2 jang konsekwen hendak melakukan perdjuangan-kelas, jang konsekwen hendak melaksanakan perdjuangan-anti-imperialis.

Kenjataan sekarang membuktikan kepada siapa jang berpikir dan mau berpikir, bagaimana bangkrutnja politik jang didjalankan oleh pemimpin2 sosial-opportunis dan bordjuis-feodal semendjak 17 Agustus 1945. Pengalaman jang getir dan pahit, jang diketjap setiap sa'at oleh kaum perkerdja Indonesia sekarang ini, sebagai akibat dari kebangkrutan politik reformisme itu, tidak sadja sudah lebih dari pada tjukup menundjukkan, bahwa bagaimana djuga diputarbalikkan sembojan2 itu, namun prosesproduksi kapitalis itu tidak akan sanggup merukunkan kedua kelas, jang bertentangan itu.

Bahkan kekatjauan ekonomi sekarang ini adalah pembuktian dari teori Leninisme, bahwa dalam zaman imperialisme ini tidak ada kemungkinan buat negeri2 jang baru hendak berdiri sendiri untuk membangun kapitalisme zonder pertolongan imperialisme asing, artinja mendirikan masjarakat kapitalis, jang akan terbebas dari tindasan imperialisme dunia. Kekatjauan dan kesulitan ekonomi di Indonesia sekarang ini adalah akibat dan konsekwen dari kekalutan dan kesulitan kapitalis umum.

Segala ini menerangkan sekian kalinja kepada rakjat perkerdja, bahwa dalam suasana imperialisme jang sudah memuntjak kepada tingkatan jang luar biasa, hanjalah satu sadja lagi sjarat jang tinggal untuk bisa memerdekakan dan memakmuran rakjat djelata Indonesia, jaitu menghantjurkan stelsel kapitalisme itu dengan sendjata revolusi, atau apabila revolusi itu diangkat, meneruskannja sampai kepada achirnja, artinja sampai kepada pembalikan masjarakat kapitalis diganti dengan susunan masjarakat sosial. Disana barulah revolusi nasional kita sungguh2 100% selesai.

Akan tetapi kita hanya mengakui, bahwa penghantjuran kapitalisme itu, artinja penghantjuran kekuasaan kaum bordjuis itu hanja dapat dilaksanakan dengan DIKTATUR PROLETAR, jang digalang dan dipimpin oleh paham2 revolusioner proletaris.

Kita harus mengakui, bahwa petjahnja revolusi Indonesia pada 17 Agustus 1945, kekuatan Diktatur Proletar tersebut tidak ada, dan paham2 revolusioner proletaris masih sangat lemah.

        Inilah jang menjebabkan maka paham2 opportunisme dapat bersi-maharadjalela diwaktu itu, jang sudah mengabui mata rakjat dengan teori ekonomi bordjuis-ketjil, seolah2 rakjat Indonesia itu bisa di makmurkan, seolah2 bangsa Indonesia itu dapat dimerdekakan, kalau kita ikut mempertahankan dan memperbaiki kapitalisme jang sudah morat-marit itu, setjara berichtiar menghilangkan kesulitan2 KRISIS didalamnja. Diatas telah kita katakan, bahwa tiada, mungkin kapitalisme itu dapat dipikirkan zonder KRISIS, dan sebab kernelaratan, KRISIS itu semangkin hari semangkin tiada tertanggung, itulah makanja kita mengatakan, bahwa stelsel kapitalis itu tidak dapat dipertahankan oleh siapapun djuga. Marilah kita selidiki so'al KRISIS itu dari dekat.

            Mengapa maka KAPITALISME ITU tidak mungkin dapat dipertahankan?

Sistem kapitalis itu mesti akan hantjur, bahkan mesti perlu dihantjurkan.
Mengapa sistem itu akan hantjur? Apakah sebabnja sistem tersebut tidak dapat kita baiki dengan setjara menempel disini, menempel disana? Knapa makanja segala usaha dan ichtiar dari kaum bordjuis untuk mempertahankan proses-produksi kapitalis itu tetap akan tidak bisa berhasil, bahkan selalu akan tinggal gagal? apakah sebabnja maka segala „rentjana2 ekonomi", jang diciptakan si bordjuis dan ahli2 ekonomi mereka, sebagai sudah berkali2 dibuktikan oleh
kenjataan sedjarah ekonomi sendiri, tidak dapat dan tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan menghasilkan buah jang baik untuk si kaum perkerdja?

Beginilah pertanjaan2 jang timbul dikalangan chalajak banjak, jang sudah merasa ketjewa atas perdjalanan stelsel kapitalis jang sekarang ini. Inilah so'al jang lazim dan ramai dikemukakan orang dalam perdebatan ekonomi dan politik. Segala pertanjaan diatas, dapat kita perpusatkan setjara singkat, kepada so'al KRISIS kapitalistis itu.

APA SEBABNJA MAKA PROSES-PRODUKSI KAPITALISIS ITU MESTI MENDJALANI DAN MENGALAMI KRISIS? Demikianlah sebetulnja so'al-central buat produksi kapitaliss itu. Soal krisis kapitalis itu dalam produksi bordjuis, adalah suatu so'al jang terpenting sekali. Segala so'al2 jang timbul dalam lingkungan suasana kapitalistis itu, seperti misalnja so'al perperangan, revolusi pemogokan, dan sekalian roman dan bangunan pertarungan kelas jang lainnja, tidak apat dan tidak mungkin dapat ditjeraikan dari so'al krisis itu. So'al krisis itu pendeknja mengendalikan dan mempengaruhi perdjalanan so'al2 jang lainnja itu.

Sekiranja mungkin timbulnja „krisis" dalam proses-produksi kapitalistis itu, dapat dilenjapkan ataupun dapat dihindarkan sama sekali, sebagaimana jang ditjita2-kan oleh ahli2 pemikir dan para ekonom bordjuis, maka sudah tentu manusia itu tidak akan menanggung penderitaan dan kemelaratan ekonomi dan sosial, seperti jang sekarang ini. Oleh sebab itulah kita mengatakan, bahwa so'al krisis itu adalah so'al central dari produksi kapitalistis sekarang. Djawaban atas so'al krisis itu, inilah jang menentukan „nasib" hidup-matinja KAPITALISME
di dunia ini.

         Marilah kita selidiki setjara singkat akan sebab2-nja maka ada dan mesti ada dalam proses-produksi kapitalis itu „KRISIS". Sedapat mungkin kita akan menguraikan so'al ini untuk chalajak banjak dengan sekedarnja sadja, artinja tidak dengan djalan „wetenschappelijkwetenschappelijk-an" atau „intelek2-an tinggi", untuk membuktikan apa sebabnja, maka KRISIS itu tidak dapat dilenjapkan selama kita melaksanakan produksi-kapitalistis.

Seperti diketahui, maka para-ekonom bordjuis beserta professor2 di Midrasah2 Tinggi, jang dalam hakekatnja digadjih atau dibajar oleh si kaum modal, lazim dan gemar sekali memberi penerangan dimuka umum dan dimuka murid2 mereka, tentang so'al krisis dan so'al2 jang bersangkutan dengan itu, sebagai berikut:

„Tiap2 barang jang dihasilkan itu, demikianlah bunji uraian bordjuis itu, adalah barang2 tukaran belaka, jang masing2-nja sudah semestinja merupakan suatu nilai atau harga. Djadinja segala barang2, jang dihasilkan dalam dunia ini, oleh tenaga kaum perkerdja itu, mestilah merupakan nilai atau harga, artinja merupakan milik-kekajaan masjarakat.  
Dengan demikian, kata si ekonom bordjuis, maka kekajaan manusia di dunia ini tidak lain dari pada tumpukan dari bermatjam2 nilai, jaitu tumpukan dari bermatjam barang2 jang dihasilkan oleh proses-produksi. Sebab itu makanja semangkin banjak pertumpukan barang2 didunia ini, sudah tentu semangkin makrnur dan bahagia manusia, itu. Karena, demikianlah uraian si bordjuis, kekajaan dunia itu sama-sendirinja bertambah banjak.

Dengan adanja keterangan dan kenjataan diatas, mereka sudah semestinja menarik konklusi, bahwa dengan kita memproduseer barang sebanjak-banjaknja dan bermatjam2 djenis dalam akibatnja kita memperkaja dunia. Dengan kita mentachlikkan (menghasilkan) barang2 tukaran itu, kata si ekonom bordjuis, kita dalam hakekatnja selaras dengan itu sama2 mentachlikkan ,,tenaga-pembeli", jang sanggup menelan (membeli) segala barang2 jang dihasilkan oleh produksi kapitalistis itu.

Harga bahan2 aseli serta bahan-penolong, kata mereka, dibajarkan kembali kepada mereka jang menghasilkan. Kita ambil misalnja produksi sepatu. Jang dimaksudkan dengan lahan2 aseli ialah kulit, paku, benang pendjahit, dsb. Jang dimaksudkan dengan bahan penolong, ialah nilai alat2 penghasilan sepatu tersebut, seperti mesin2 dan perkakas lainnja. Harga alat2-produksi ini, tidak sekaligus ,,ditambahkan kepada harganja sepatu jang diperbuat, akan tetapi sedikit demi sedikit setjara ongkos „slijtage" dan „afschrijving". Supaja bisa mendjadi mudah uraian kita, maka harga bahan2-aseli dan bahan-penolong itu kita umpamakan sadja „ongkos bahan2".

„Ongkos bahan2" ini djatuh ketangan orang2 jang menghasilkan kulit, paku, benang, dsb. itu, jang dikeluarkan dari harga djualan sepatu jang sudah dilaksanakan itu.
Baik ini tjukup djelas. Keleibihan dari harga-pendjualan sepatu itu, jaitu sesudah dikurangi dengan ongkos pokok-bahan tadi, inilah jang merupakan untung pekerdjaan, kata si ekonomis bordjuis.

Karena „untung" tersebut dihasilkan oleh kerdja-bersama, tenaga si buruh dan djerih-pajahnja si kapitalis serta modalnja, maka sudah semestinja „untung" jang sama2 diperoleh itu, dibagi antara si buruh dengan si kapitalis. Djadinja untung-pekerdjaan tadi petjah dua. Sebahagian djatuh ketangan si buruh sebagai „upah" jang merupakan kekajaan si kaum Buruh, sebahagian lainnja djatuh ketangan si kapitalis, jang merupakan "laba" dan kekajaan si kaum kapitalis.

Dengan memakaikan logica diatas, maka ekonom2 bordjuis menjimpulkan hasil penjelidikan mereka kepada kepertjajaan, bahwa tidak mungkin dapat nilai-baru ditachlikkan djikalau selaras dengan memproduseer nilai-baru itu tidak ada terhasil sekali tenaga pembeli, jang sanggup menelan (membeli) segala barang2, jang baru ditachlikkan itu.

Kependekan teori bordjuis ini, ialah, bahwa djumlah dari tenaga-pembeli masjarakat itu, mestilah sama-setimpal (bertepatan) dengan djumlah harga barang jang dihasilkan oleh masjarakat itu sendiri.

 Dalam prakteknja teori ini berarti, bahwa tiap2 sepatu jang dihasilkan bisa kelak dibeli oleh kaum proletar, karena mereka menerima upah dari pembikinan sepatu tersebut. Tiap2 barang jang diproduseer itu, sama-sendirinja nanti dapat dibeli oleh kaum perkerdja, jang berdjuta2-an di dunia itu, sebab mereka mempunjai kekajaan (uang) atau tenaga-pembeli, jang diperoleh sebagai upah dari pembikinan barang2 jang diproduseer itu.

Berdasar atas kejakinan pada teori diatas, maka mestilah si ekonom bordjuis menarik kesimpulan, bahwa krisis jang timbul dalam proses produksi jang sekarang ini adalah akibat dari kesendatan organisasi produksi, dari kekatjau-balaunja. Dengan melaksanakan „ekonomi jang berentjana" atau „plantwirtschaft" kita harus dapat mentjapai kemakmuran rakjat, dsb. dsb.

Demikianlah kiranja dasar2 teori ekonomi dari Moh. Hatta, jang diperkuat oleh Soekarno cs. sebagai kaum opportunisten. Mereka hanja melupakan sedikit sadja, bahwa „Planwirtschaft" jang semuluk2nja difikirkan mereka, tidak akan, dapat menghilangkan krisis kapitalis itu, kalau stelsel kapitalis itu sendiri tidal dibongkar sama-sekali, dihantjurkan dan dikikis anasirnja. habis-habisan.

Membongkar sendi2 kapitalisme itu, menghantjurkan sjarat2 proses-produksi kapitalistis tersebut, tidak dapat kita laksanakan dengan „pertolongan kaum imperialis" dengan setjara berkompromi dengan mereka. Kekuasaan kapitalistis itu, susunan produksi kapitalis sekarang ini, hanja, dapat dihantjurkan oleh ra'jat-pekerdja, dibawah pimpinan kaum proletar dengan pertolongan sendjata revolusi rakjat. Apa sebabnja maka didalam „wirtschaft" kapitalistis, itu bisa dilaksanakan „plan" apapun djuga

Udjud Produksi Kapitalistis ialah memproduseer laba, dan tidak memproduseer barang - barang  untuk kebutuhan manusia


Produksi Kapitalistis itu tidak sadja berudjud menghasilkan untung atau laba, bahkan  pula untuk menghasilkan untung jang sebanjak-banjaknya.

 Marx pernah menuliskan dalam „Das Kapital": Modal itu sangat sekali takut kepada tidak adanja laba „atau kesedikitan laba. Dengan timbulnja laba ia mendjadi „berani. 10% untung jang terdjamin, sudah membukakan „kesempatan untuk mempergunakan kapital dimana2. 20% „untung membuat modal itu lebih aktip. 50% menjuruh modal itu mengganas. Dengan kemungkinan untung 100%, ia akan mengindjak2 segala peraturan dan undang2 manusia. Dengan untung 300%, maka tidak ada pengchianatan jang dapat dipikirkan jang tidak didjalankan oleh si kaum modal itu, meskipun ia akan terantjam oleh tonggak gantungan.”

Tjonto dan bukti setiap hari memundjukkan kepada kita, bahwa tidak akan ada satu kapitalis jang akan terus menta'ati peraturan dan rentjana siapapun djuga, apabila dilihatnja bahwa dengan menobros peraturan dan rentjana2 jang diadakan itu, ia bisa berlipat2 mendapat untung (segala korupsi, smokkel, penipuan dan penjeludukan segala matjam perdjanjian nasional dan internasional, tjukup membuktikan ini kepada kita). Sekalipun misalnja pemerintah Inggeris menentang politiknja Hitler diwaktu dulu, bahkan berada didalam keadaan perperangan dengan keradjaan Djerman, akan tetapi kaum modal Inggeris tidak sedikit djuga berkeberatan untuk meneruskan perdagangan mereka dengan Djerman, sekalipun setjara tidak berterangan.

Apa sebabnja krisis itu dalam proses-produksi kapitalistis mesti ada?

Proses-produksi kapitalistis itu adalah dalam hakekatnja proses akumulasi, artinja proses mempertumpukkan kapital. Apakah artinja proses akumulasi itu? Marilah kita tindjau proses-produksi kapitalistis itu lebih teliti.

„Djumlah dari tenaga-pembeli masjarakat itu mestilah sama-setimpal (bertepatan) dengan besarnja djumlah harga barang2 jang dihasilkan kata si ekonom bordjuis, seperti jang telah kita uraikan diatas. Ini memang sedemikian, tidak dapat kita sangkal kebenarannja.

Akan tetapi orang harus membedakan „tenaga-pembeli" dengan „tenaga penelan", apa jang disebutkan oleh Marx „Kauft kraft" dan „Konsumtion kraft". Kedua tenaga ini tidak bersamaan besarnja. „Tenaga-pembeli" atau „Kauftkraft" dari masjarakat memang sekali sama besar dengan nilai pertumpukan, barang2 jang dihasilkan oleh produksi itu. Akan tetapi „tenaga-penelan" atau „Konsumtions-kraft" masjarakat itu lebih ketjil dari djumlah nilai barang2 jang dihasilkan oleh produksi itu, jang malahan semangkin lama semangkin bertambah ketjil kalau diperbandingkan dengan djumlah barang2 jang dihasilkan.

Bagaimana duduknja proses-produksi itu jang sebenarnja? Disini kita turunkan pendapat Karl Marx. Uang jang dipergunakan untuk pembeli bahan2 dan alat2 disebutkan oleh Marx „modal-tetap" atau „modal jang konstant", artinja modal jang tidak berubah2. Uang jang dipergunakan untuk pembajar upah, disebutkan oleh Marx „modal jang berubah", atau „modal variabel". „Kelebihan-nilai", jang dihasilkan oleh tjara memeras si buruh, dinamakan „Mehrwert". Untuk memudahkan usaha kita, marilah kita pergunakan nama2, jang sudah ditetapkan oleh Marx, dan sekarang lazim dipakai dalam pertjakapan ekonomi. „Modal konstan" itu, dipisah pula sebahagian sebagai „modal jang membeku" („fixe kapital").

Si kapitalis hendak membuat sepatu.

Untuk pembeli bahan2 dan bahan-penolong dikeluarkannja F. 2000,— (Konstant kapital). Untuk membajar upah si buruh jang bekerdja F. 1000 (V = variabel kapital). Untung jang diperoleh, sesudah pendjualan dikurangkan dengan pokok, adalah F. 1000,— (M = Mehrwert).

Tiap2 suatu perputaran proses-produksi selalu mulai dengan Konstant kapital + Variabel Kapital, atau singkatnja K + V. Tiap2 suatu perputaran proses-produksi mestilah menghasilkan K + V + M, jang djumlahnja sama dengan harganja pendjualan. Djadi dalam misal kita diatas tadi F. 2000 + F.1000 + f 1000 — = F. 4000,-  Maka djelaslah sekarang, bahwa F. 4000,— itu, jang hakekatnja merupakan nilai-baru, adalah djumlah „tenaga-pembeli" atau „Kauftkraft" masjarakat.

F. 4000,— itu sekarang tidak semua mendjadi „tenaga-penelan" atau„Konsumtionskraft". Upah jang djatuh ketangan si buruh itu, jaitu V (variabel kapital) dibiajakan semuanja untuk reproduksi tenaga baru. Karena V itu tidak djatuh ketangan seorang buruh, akan tetapi ketangan beberapa orang buruh, misalnja ketangan 20 orang buruh, maka mestilah F. 1000,— itu dibiajakan sekaliannja.

„Laba jang djatuh ketangan si kapitalis, tidak semua dibiajakan, karena „Mehrwert" itu djatuh ketangan seorang sadja. Serojal2-nja si kapitalis membiajakan F. 100,— atau F.200,— untuk belandja hidup familienja. Apa sekarang jang merupakan „tenaga-penelan" atau „Konsumtionskraft". Bukan jang F. 4000,— itu, tetapi hanjalah F. 1000,— ditambah F. 100,— atau F. 200,—, jaitu = F. 1200,— Dengan angka2 diatas djelas sekali,bahwa „Konsumtionskraft" tidak sama dengan „Kauftkraft" dan malahan lebih sedikit dari „Kauftkraft" tadi.

Si kapitalis, jang tadinja mendapat „laba" F. 1000,—, dan membiajakan F. 200,— untuk keperluan hidupnja sendiri, sekarang masih mempunjai F. 800,— dalam kantongnja. Apakah dia tidak bisa mengeluarkan uang ini seterusnja? Sekiranja si kapitalis itu seorang kuno, maka uang ini disimpannja dalam rumah. Ia tjuma, „memutarkan" uangnja jang F. 2000.— itu sadja.

Dan tiap2 suatu peredaran proses-produksi uang „simpanannja" itu bertambah dengan F. 800,—. Uang „simpanan" tersebut dipisahkan dari proses sirkulasi, dan oleh karena itu tidak dapat menambah „Konsumtions-kraft" atau „tenaga-penelan".

Sekiranja si kapitalis seorang borjuis modern, sudah tentu ia akan mempergunakan ketinggalan „Mehrwert", jang F. 800,— itu untuk memperluas dan memperbaiki produksinja. Ia mau tidak mau terpaksa memperluas dan memperbaiki produksinja, dengan tjara membeli mesin2 baru, memperbesar pabriknja dan sebagainja. Pendek kata, si kapitalis sebagai produsen, mesti mempergunakan sebahagian dari keuntungannja untuk memperbesar modalnja kalau ia tidak memperluas dan memperbaiki produksinja, sudah tentu ia akan tenggelam dalam gelomlbang persaingan.

Maka teranglah, bahwa sebahagian dari „Mehrwert" itu berubah mendjadi Konstant Kapital. Dengan djalan demikian, maka mau tidak mau konstant kapital itu dari hari kesehari mestilah bertambah2 besar. Proses inilah jang kita katakan proses akumulasi. Artinja ialah proses mempertumpuk2-kan kapital itu.

Dengan djalan demikian, maka teranglah bahwa djumlah nilai dari modal jang terpakai dalam proses produksi masjarakat itu, mestilah tiap2 tahun akah bertambah2 banjak. Akumulasi kapital berarti suatu kemadjuan dari organisasi dan alat-djentera produksi itu. Akan tetapi kemadjuan alat produksi ini membawa perubahan antara constant kapital (K), dan variabel kapital (V) artinja K. selalu bertambah naik, sedangkan V. tetap sebanjak itu djuga, seandainja tidak turun.

Bagaimanakah akibat proses akumulasi itu?

Pada permulaan proses-produksi misalnja K. berdjumlah F. 2000,— V. berdjumlah F. 1000,— dan M. bisa misalnja mendjadi F. 1400,—.

Dalam peredaran jang pertama, maka perbandingan K.V. adalah seperti 2 : 1. Dalam peredaran jang ketiga maka perbandingan K:V sudah mendjadi 4000 : 1000 atau 4:1. Pendek kata akumulasi kapital itu merubah perimbangan antara konstant kapital dengan variable kapital artinja menimpangkan perbandingan K dengan V.

Dalam hakekatnja djumlah kapital jang dibekukan kedalam bahan2 dan alat2, adalah berlipat-ganda dari kapital jang berubah, jang merupai upah-buruh itu. Perubahan antara perimbangan konstant kapital dengan variabel kapital, jang merupakan sifat jang bertentangan sekali, mau tidak mau mestilah menimbulkan „perlimpahan produksi" atau „overproductie".

Bukan sadja perimbangan antara konstant kapital dengan variabel kapital jang mendjadi timpang oleh pengluasannja dan kemadjuannja organisasi proses-produksi kapitalistis itu, akan tetapi djuga dalam lingkaran konstant kapital itu sendiri timbul ketimpangan perimbangan antara djumlah jang dikeluarkan untuk barang2 bahan dan djumlah jang dipergunakan untuk barang2-penolong, artinja modal jang merupakan harga bahan2 jang akan dikerdjakan tidaklah begitu tjepat tumbuhnja dari pada modal jang dipergunakan untuk pembuat bangsal2-pabrik, mesin2, alat-perkakas, alat-pengangkut dsb, jaitu disebutkan fixe kapital.

Apakah akibat dari keadaan ini?

Barang2 jang dihasilkan sebagai barang-tukaran (jang setimpal banjaknja dengan harga bahan2) djikalau dibandingkan dengan totalnja djumlah konstant kapital, relatip selalu bertambah kekurangan.

Dengan djalan demikian djumlah untung jang diperoleh, dibandingkan dengan djumlah uang jang diperputarkan dalam proses-produksi itu, relatip mestinja mendjadi turun.
Misalnja: Konstant kapital mulanja f. 2000,—, jaitu f. 1000,— fixe kapital. K. meningkat sampai besarnja F. 4000,—, jaitu f. 1500,— fixe kapital.

Seandainja f. 2000,— konstant kapital menghasilkan f. 1000, laba, maka seharusnja f. 400,— kontstant kapital, menghasilkan f. 2000,— laba. Oleh karena „Mehrwert" atau laba itu tidak dapat ditjeraikan dari barang2 jang dihasilkan, djadi teranglah, bahwa dalam keadaan jang pertama, laba jang sedjumfah f. 1000,— itu harus dipikulkan rata2 kepada bahan2 jang seharga f. 1000,—

Dengan demikian, maka laba jang sedjumlah f. 2000,— belakangan itu harus pula dipikulkan rata2 kepada bahan2, jang sekarang tjuma seharga f. 1500,—

Apa jang kita lihat disini? Tadinja bahan2 jang seharga f. 1000,— memikulkan laba f. 1000,—. Sekarang bahan2 jang tjuma seharga f. 1500,— harus memikulkan untung f. 2000,— Apakah akibatnja? Harga-pendjualan per potong harus dinaikkan dari harga pendjualan pertama, atau laba jang pertama terpaksa diturunkan untuk mendjaga supaja harga-pendjualan djangan mendjadi naik. Dalam keadaan jang kedua2-nja kita mengalami pertentangan lagi dalam proses-produksi kapitalistis. Artinja penumbuhan fixe kapital dalam proses-produksi itu, mau tidak mau, mesti akan mengakibatkan penurunan djumlah untung, djikalau diperbandingkan dengan djumlahnja constant kapital.

Kesimpulan pendek dari segala keterangan diatas, ialah bahwa dalam pengertian relatip ,bukan sadja djumlah upah jang terus berkurang2, bahkan djumlah untung itu relatip mendjadi turun, djika diperbandingkan dengan total djumlah nilai jang dihasilkan tiap2 tahun.

Proses jang kedua ini, mau tidak mau mestilah akan menambah hebatnja kepesatan „pelimpahan produksi".

Dengan pendjelasan diatas, maka dapatlah dipahamkan, bahwa dengan mengriapnjadan madjunja produksi kapitalistis itu, timbullah bersamaan dengan proses tersebut,sifat jang bertentangan, jaitu kemunduran relatip dari „Konsumtions-kraft" atau „tenaga penelan"dari masjarakat tersebut. Pertentangan antara kemadjuan produksi dan kemunduran „tenaga-penelan" (Konsumtions-kraft) adalah akibat dari pertentangan antara memproduseer setjara bersama dan memiliki setjara perseorangan. Oleh sebab itulah makanja pertentangan ini, jang mendjadi dasar dari krisis kapitalis itu, hanja dapat dipetjahkan, dapat dilenjapkan, kalau barang2, jang dihasilkan setjara bersama, djuga didjadikan milik bersama.

Krisis kapitalis itu hanja dapat dihilangkan, setjara menghapuskan milik-perseoranganatas alat2 produksi masjarakat, itu.

Pertentangan jang timbul dari proses-produksi kapitalistis tadi, jaitu kemadjuan produksi dan kemunduran tenaga-penelan (Konsumtions-kraft), jang hakekatnja tidak sama dengan „tenaga-pembeli" (Kauftkraft), sudah tentu akan menimbulkan pula so'al pasar. Artinja menimbulkan kesulitan Baru, jaitu kesusahan mendjual barang2 jang dihasilkan itu bertambah besar. Supaja barang2 jang dihasilkan itu dapat didjual dalam pasaran, maka haruslah si produsen menurunkan harga-pendjualannja. Tiap2 penurunan harga-pendjualan berarti penurunan djumlah untung, atau mungkin pula berarti penurunan grad-nja laba tersebut (Profitrate). Dalam prakteknja si kapitalis lazim tidak mau memikul kekurangan laba itu. Menurut hukum2 ekonomi kapitalis, ia memang tidak dapat memikul kerugian itu begitu sadja. Sebab pertumpukan modal dalam proses-produksi jang dilaksanakan oleh si kapitalis, jaitu djumlah modal jang merupakan konstant kapital, tidak boleh menerima pengurangan laba, dalam produksi kapitalistis. Malahan sebaliknja jang mesti terdjadi. Djumlah laba si produsen harus selalu bertambah2, selaras dengan tumbuhnja akumulasi kapital dalam proses produksi itu. Sekiranja dalam suatu sa'at djumlah laba si kapitalis tidak bisa meningkat, artinja tetap tinggal sebanjak itu djuga, maka ini sudah berarti „grad"laba itu (Profitrate) turun.

Sekalipun laba absoluut tidak turun ataupun bisa naik sedikit, dalam prosesproduksi kapitalis keadaan ini bisa berarti suatu kerugian didalam untung, sebab laba tersebut dalam pengertian relatip mungkin turun.

            Kalau misalnja F. 2000,— konstant kapital menghasilkan M. (Mehrwert) F. 1000,—, dan sesudah terdjadi akumulasi (K + M — a) atau F. 2000, tjuma mentahlikkan M. tidak lebih dari F. 1200,— maka disini kita lihat, bahwa „Profitrate itu mendjadi turun, sekalipun djumlah-laba jang absoluut dari F. 1000,— meningkat sampai F. 1200,— (Dalam tjonto diatas a. merupakan djumlah beaja untuk penghidupan si kapitalis) Dengan pendjelasan diatas, dapatlah dipahamkan, bahwa si kapitalis tidak dapat memikul tiap2 pengurangan labaitu, kalau ia mau mempertahankan kedudukannja dalam suasana proses-produksi kapitalistis ini, atau dengan perkataan lain dapat dikatakan, kalau seandainja si kaum modal umumnja mau mempertahankan stelsel kapitalis itu sebagai mestinja. Mengingat hukum2 ekonomi diatas, maka mau tidak mau, segala kekalutan jang ditimbulkan oleh kekalutan pasar, terpaksa dibebankan lagi oleh si kapitalis ke pundaknja si buruh. Apa akibatnja? Upah si buruh atau dari kaum buruh umumnja terpaksa diturunkan. Penurunan upah ini dilaksanakan oleh si bordjuis dengan otjeh2-an jang muluk2, seperti „Persatuan Bangsa", „Nationale Solidariteit", „Kesulitan Nasional", „Bahaja Nasional", jang mengantjam" dsb. dsb. Alasan2, jang dikemukakan ini, maksudnja tidak lain, supaja si buruh lemah hatinja untuk memperdjuangkan kepentingan proletaris, dan siap-sedia untuk memikul kesulitan produksi kapitalistis, untuk menanggung kemelaratan krisis jang timbul itu. Seandainja si kaum pekerdja tidak mau pertjaja pada segala budjukan si kapitalis tadi, dan lebih suka menentang peraturan2 jang akan didjalankan si kaum bordjuis untuk penutup kerugian mereka, maka disini kelihatanlah sifat pemerintah bordjuis itu. Segala peraturan2 dan hak2 demokrasi terpaksa dilemparkan oleh mereka kedalam kerandjang kotoran. Setjara „demokratis" dirundingkan „undang2 dan peraturan2 negara" jang udjudnja tidak lain dari pada memaksa si kaum buruh atas alasan „undang2 dan peraturan2 negara" menerima segala kedjelekan ekonomis dan sosial jang akan didjalankan oleh si kaum kapitalis. Pemerintah si bordjuis meningkat dari suasana „demokratis" (di Indonesia diperdjualbelikan sebagai „kerakjatan") kepada suasana „Fasisme", jang mempunjai beberapa matjam tjorak dan tingkatan pula, Baiklah!

Akan tetapi apakah akibatnja penurunan upah itu?

Pengurangan upah, jaitu pengurangan variabel kapital (V) tidak lain artinja dari padamenambah mempersempit „tenaga-penelan" atau „Konsumtionskraft" jang sudah sempit itu.Mungkin dengan penurunan upah buruh itu kesendatan produksi kapitalistis, jang disebabkan oleh kekalutan pasar tadi, dapat diatasi dalam waktu jang sementara, akan tetapidengan tjara mengatasi kesulitan itu kesendatan itu akan balik kembali dan....................................................... akan lebih hebat lagi akibatnja.

Muslihat lain untuk mengetjilkan ongkos-produksi barang2 tukaran itu, ialah berusaha menjempurnakan technik dan menjelenggarakan rationalisatie dalam prosesproduksi itu. Apakah akibatnja „technische perfectie" dan „rationalisatie" jang dilakukan dalam proses-produksi kapitalistis itu? Dalam hakekatnja bukan sadja hanja memperbanjak konstant kapital, tetapi, lebih2 pula akan menaikkan djumlah fixe-kapital, artinja memperhebat dan mempertjepat akumulasi modal dalam proses-produksi jang diselenggarakan.

Sebaliknja pula tiap2 perbaikan technik, tiap2 penjempurnaan rationalisatie dalam proses-produksi kapitalistis, djadinja tiap2 pertarnbahan djumlah fixe kapital mengakibatkan pemberhentian buruh, pengurangan djumlah buruh jang ikut dalam proses-produksi itu.
Keadaan ini sudah tentu menimbulkan pengangguran dan akan memperbanjak pengangguran dikalangan buruh.

     Adanja pengangguran itu, atau bertambah banjaknja pengangguran tersebut akibatnja akan mengurangkan „Konsumtionskraft" dari masjarakat itu pula. Djurang-pertentangan antara kemadjuan-produksi disuatu pihak, dan kemunduran tenaga-konsumsi masjarakat dilain pihak, dengan djalan jang sedemikian itu, sama-sendirinja akan bertambah luas dan bertambah dalam. Pertentangan ini sudah semestinja akan membuahkan „pelimpahanproduksi "atau „overproductie" lagi. Demikianlah selandjutnja.

Pertentangan antara tenaga-produksi (Produktionskraft) itulah sebenarnjar jang mendjadi dasar dari pertentangan kebutuhan kelas itu, jang tidak dapat dan mungkin dapatdirukunkan. Oleh sebab itu tidak ada satu buruh jang insjaf akan kedudukannja dalamproses-produksi kapitalistis itu, tidak ada seorang revolusioner, jang sungguh2 hendakmeaghantjurkan masjarakat dan produksi kapitalis itu, bisa ikut berbesar hati dengan adanjaatau madjunja „rationalisatie" dan „technische perfectie" dalam masjarakat kapitalis itu.Tidak ada seorangpun jang betul2 tahu akan selek-beluk djentera pemerasan kapitalis jang ada sekarang ini, bisa bangga dan bisa ikut gembira mendewa2-kan kemadjuan kapitalis di Amerika ataupun di Eropah itu. Tiap2 kemadjuan dalam lapangan technik dalam masjarakat kapitalis itu tidak lain aidbatnja dari suatu kemadjuan dan pengokohan kekuasaan si kaum kapitalis, serta suatu kemunduran bagi posisinja si kaum perkerdja. Seperti telah dikatakan tadi, para-ekonom bordjuis sering, sekali mempertahankan teori mereka, bahwa dengan madjunja produksi itu maka nasib kaum perkerdja alian bertambah madju pula. Ini sering dibuktikan mereka dengan angka2 dan tanda2 jang resmi, sehingga dengan pandangan sepintas lalu, orang suka mempertjajai uraian mereka itu.

Mereka melupakan bahwa dunia dan masjarakat manusia itu bersifat dynamisch, artinja berada dalam keadaan mengalir, bergerak dan bertukar. Oleh karena itu kita tidak boleh memandang barang sesuatu setjara mechanisch, tetapi haruslah dengan setjara dialectisch. Dengan tindjauan dialectisch kita bisa melihat, bahwa segala2-nja itu mempunjai pengertian relatip sadja, dan djuga bersifat relatip. Para ekonom bordjuis lazim membuktikan kemadjuan si kaum buruh itu dengan angka2 serta kenjataan2, jang membandingkan penghidupan si buruh dalam zaman kemadjuan kapitalis sekarang dengan penghidupan mereka sebelum masjarakat kapitalis ini begitu madju.

Dengan demikian si bordjuis mungkin dapat menundjukkan kemadjuan absoluut dari kaum perkerdja. Akan tetapi kita tidak boleh melupakan, bahwa tiap2 kemadjuan absoluut mungkin hakekatnja suatu kemunduran relatip dari si kaum buruh. Marilah keadaan ini kita uraikan dengan memetjahkan so'al upah.

So'al upah dalam lingkungan so'al

Dalam pertjakapan hari2, jang idikatakan upah, ialah, hargatehaga si buruh jang diterimanja sebagai uang. Djumlah uang, jang diterima si buruh itu sebagai upah, lazimdisebutkan dalam uraian ekonomi: UPAH NOMINAL. Dengan djumlah upah nominal ini, maka si buruh dapat membeli barang2 kebutuhan hidupnja. Barang2, jang dapat dibelinja dengan uang upah nominal tersebut, inilah jang merupakan upah jang sebenarnja atau UPAH REAL. Oleh sebab harga barang2 dipasar itu tiada tetap, tetapi bersifat naik-turun djadi teranglah, bahwa upah real itu pun tiada tetap, artinja bisa naik dan bisa turun. Dengan keadaan jang sedemikian itu, maka djelaslah bahwa upah nominal itu tidak sama dengan upah real.

Adanja beda antara upah nominal dan upah real itu, memberi kesempatan besar bagi si kaum bordjuis untuk memeras rakjat perkerdja itu setjara halus dan tidak kentara. Disini si kaum bordjuis dapat bersandiwara dimuka rakjat, jang hakekatnja tidak lain dari muslihat menipu rakjat perkerdja. Upah nominal mungkin tidak berubah, malahan mungkin naik, tetapi oleh sebab harga barang2 jang dibutuhkan buat hidup itu sudah meningkat tinggi sekali, maka upah real si buruh mendjadi turun karena itu.

Misalnja:

Dizaman pendjadjahan Belanda dahulu si buruh mendapat upah misalnja F.O. 50 sehari. Dengan upah nominal itu is bisa membeli 10 batok beras, atau 2 tjelana katok. 10 batok beras atau 2 tjelana katok itu merupakan upah-realnja si buruh. Dizaman „merdeka" sekarang ini si buruh misalnja nominal mendapat upah F. 5,— sehari. Akan tetapi, sekalipun upah nominal itu naik 10 kali-lipat, dengan uang F. 5,— sekarang ini si buruh tjuma bisa dapat 21/2 batok atan setinggi2-nja 5 batok beras. Untuk membeli sehelai tjelana katok is harus membajar F. 40,— sampai F. 50,—, artinja ia harus bekerdja 8 sampai 10 hari.

Upah real si buruh, sekalipun upah-nominalnja naik, turun dari 10 batok beras sehari sampai 21/2 batok beras. Atau boleh djuga kita katakan, bahwa upah real turundari 2 tjelana katok sampai 1/8 atau 1/10 tjelana katok.

Ini lazim tidak dihiraukan oleh si kaum bordjuis. Mereka tjuma menggemborkan, bahwa dahulu upah si kaum buruh F. 0,50 dan sekarang meningkat sampai F. 5,— „keuntungan" ini ditotohkan sebagai suatu „kemadjuan dari revolusi kita, sebagai suatu „perbaikan", jang sudah ditjapai oleh pemerintah bordjuis kita. Dengan „kemadjuan" jang diperoleh itu", si kaum bordjuis sekarang „berhak" memerintahkan si kaum perkerdja untuk bersatu dibelakang mereka, untuk selalu ta'at kepada mereka. Si bordjuis, jang takut kepada perdjuangan kelas, memikirkan seribu-satu akal dan alasan, supaja si buruh tinggal tentram, supaja si tani lebih kentjang ikat pinggangnja, malahan kalau perlu, dipaksa pak desa dan Kromo untuk makan satu kali seminggu, supaja si bordjuis dapat melaksanakan produksikapitalistis mereka.

Dengan bukti2 jang konkret ini, djelaslah bahwa sekalipun upah nominal tidak berubah, ja malahan sekali bisa naik, akan tetapi hakekatnja upah real si buruh sudah bisa mendjadi turun. Apakah akibatnja proses jang sematjarn ini? Tenaga penelan, jaitu„konsumtionskraft" jang kita uraikan diatas tadi, mendjadi bertambah sempit selaras dengan
kemunduran upah real tersebut. Disini boleh si buruh mengambil kesimpulan, bahwa perdjuangan-kelas dari kaum proletar di dalam sarekat2 sekerdja, tidak dapat ditudjukan kepada „penambahan upah nominal" semata2, tetapi hendaklah kepada penghantjuran kapitalisme itu, selekas mungkin.
Seandainja para-econom bordjuis dapat membuktikan dengan angka2" (ini tjuma setjara teoretisch sadja kita kemukakan) bahwa upah real itu mendjadi naik dalam suatu waktu, akan tetapi kenaikan upah real itu tidak akan sama dengan kenaikan laba atau grad laba itu.

Selain dari arti nominal dan real, maka upah itu mempunjai djuga pengertian relatip, jaitu nilai upah itu diperbandingkan dengan djumlah lama jang dipungut si kapitails. Meskipun upah real itu tampaknja naik, akan tetapi mungkin upah relatip itu mendjadi turun.

Misalnja:

Upah harian F. 3,- Upah nominal turun F. 2,— Djadi kurang F. 1,— atau 1/3. Dalam pada itu harga barang turun dengan 2/3. Barang jang tadinja berharga F. 3,— sekarang turun mendjadi F. 1,—. Dalam keadaan jang sedemikian itu ternjata, bahwa upah real sebetulnja naik 100% meskipun upah nominal turun dengan 33% Dengan kenjataan diatas para-ekonom bordjuis mengambil kesimpulan, bahwa kemadjuan produksi kapitalis membawa kebaikan dan mempa'at kepada si kaum perkerdja.

Djadinja bertambah sempurnanja stelsel kapitalistis itu membawa suatu keuntungan bagi si rakjat-djelata, kata mereka. Oleh sebab itu, demikianlah budjuknja si bordjuis, harus kaum buruh membantu memperbaiki stelsel kapitalis itu, atau membantu memperkuat kedudukan dan membentuik kekuasaan bordjuis sendiri. Beralasan atas anggapan dan kejakinan diatas, maka kaum bordjuis di Indonesia sekarang ini dengan pertolongan sida-prawira mereka, djuga mengandjurkan supaja si kaum buruh menjokong menguatkan kekuasaan si bordjuis, jang maksudnja tidak lain dari pada ikut menolong membangun dan menjempurnakan stelsel kapitalisme itu. Segaia2 otjehan ini dibungkus dengan sembojan „kita sedang menghadapi musuh jang kuat" atau „kita harus memperdjuangkan kemerdekaan bangsa" dsb. Dalam hakekatnja mereka tidak berichtiar untuk melawan imperialis mati2-an, seperti jang betul2 dikehendaki rakjat, tetapi mereka berichtiar dengan segala muslihat untuk berkompromi dengan musuh rakjat. Dalam prakteknja mereka sedang memperdjualbelikan kemerdekaan-rakjat kita dengan kaum imperialis, karena ingin hendak membangun kapitalisme di Indonesia ini, jang akan dilaksanakan dengan pertolongan imperialis a.sing. Orang bertanja disini: „Mungkinkah kapitalisme itu, sekalipun kapitalisme itu jang sangat madju seperti di Amerika dan Inggeris itu, membawa kebaikan bagi kaum perkerdja di Indonesia ini? Si opportunis, jang bersifat bordjuis-ketjil tentu mendjawab „Ja".

Beralasan atas kenaikan upah real diatas. Orang revolusioner mendjawab pertanjaan ini dengan taigas „Tidak", meskipun ada kebuktian „kenaikan upah-real" seperti jang diatas itu. Apa sebabnja?

Upah si buruh turun dari F .8,— sampai F. 2,— (rnenurut misal jang diatas.) Dengan penurunan upah nominal ini, si kapitalis mendapat untung F. 1,— dari upah si buruh.

Dalam pada itu harga barang turun dengan 66%%. Si buruh sekarang terpaksa berkerdja lebih pesat, dan lebih „intens" lagi, supaja dapat lebih banjak menjudahkan barang2 dan menghasilkan barang2 jang lebih banjak djumlahnja, sebab harga-pendjualan barang2 itu sekarang sudah mendjadi mu-rah, djadinja untung si kapitalis dalam tiap2 barang mendjadi kurang. Seandainja untung si kapitalis mendjadi kurang dalam tiap2 barang, maka dia selalu menutup „kerugian didalam untung" dengan tjara mempertinggi produksinja.

Akibat dari proses jang sedemikian ini, ialah bahwa bahagian si modal dalam untung diperoleh mendjadi bertambah naik dari bahagian si buruh.

Kita umpamakan untung si kapitalis djuga F. 3,-- besarnja, sewaktu si buruh mendapat upah F. 3,—. Ketika si buruh mendapat upah F. 2,— si kapitalis beruntung sekarang F. 3 + F. 1,— = F. 4,—. Tadinja upah si buruh. F. 3,— atau 100% dari keuntungan si kapitalis. Upah-relatip si buruh adalah 100% dari Mehrwert. Upah F, 2,— itu sekarang bukan lagi berarti 100%, dari „Mehrwert" jang diperoleh, jaitu F. 4,—, tetapi hanja 50% dari total untung. Djadinja upah relatip itu turun dari 100% sampai 50%, sungguhpun upah real seperti jang diuraikan diatas tadi, merupakan kenaikan. Sekalipun kita ambil situasi jang sedjelek2-nja buat si kapitalis, artinja untung jang diperoleh produksi itu tidak bertambah melainkan tinggal tetap F. 3,— sadja, maka teranglah bahwa djuga dalam hal ini upah relatip itu mendjadi turun dari 100% sampai 66%%.

Kependekan dari uraian diatas ialah, bahwa hukum jang menguasai upah dan laba itu adalah seperti berikut:

Laba dan upah satu dengan lain bertentangan2-an kedudukannja.

Laba, jaitu bahagian modal dalam proses-produksi, selaras naiknja dengan penurunan upah, artinja mangkin naik laba itu, mangkin turun pula upah itu. Demikian pula sebaliknja, kenaikan upah berarti penurunan laba.

Dari apa jang sudah kita djelaskan diatas, dapatlah kita memahamkan, bahwa tiada mungkin kemadjuan organisasi produksi kapitalis itu, seperti jang ditjita2-kan oleh bordjuis warna sawo, dapat memakmurkan rakjat perkerdja. Makin banjak dan tjepat pemasukan kapital dalam proses-produksi itu, maka mangkin banjak dan tjepat pula ia harus mentachlikkan untung bagi si kaum modal. Mangkin besar untung jang harus dimiliki si kaum modal sudah tentu mangkin tjepat dan mangkin banjak pula susutnja upah jang diberikan ketangan si buruh.

Mungkin pengriapan kapital itu bisa memperbesar penghasilan absoluut dari kaum perkerdja, tetapi sebab ia djuga sama2 memundurkan upah-relatip itu, maka akibat dari tiap2 pengriapan kapital tidak lain dari pada memperlebar dan memperdalam djurang antara kedua kelas, artinja mempertadjam pertentangan dan perdjuangan-kelas. Sebab dengan proses tersebut kekuasaan si kapitalis atas si buruh bertambah besar sedangkan si kaum buruh bertambah tergantung nasibnja kepada si kapitalis.

Politik opportunis, jang mementingkan pemasukan kapital dari pihak imperialis akan menguatkan kekuasaan imperialis asing dan kekuasaan si bordjuis sendiri di negeri kita ini, dan sama sendirinja akan mempergantungkan nasib rakjat perkerdja bertambah rapat kepada kaum kapitalis.

Tenaga-penelan atau „Konsumtionskraft" setjara relatip terus akan bertambah kurang.
Diatas kita membedakan „tenaga-pembeli" dengan „tenagapenelan", oleh sebab akibat dari kedua proses tersebut berlainan. Segala „tenaga-penelan" (Konsumtionskraft) sama dengan „tenaga-pembeli" (Kauftkraft).

Sebaliknja tidak segala „tenaga-pembeli" bisa mendjadi tenaga-penelan".

Kalau kita mengeluarkan uang F. 100,— untuk pembeli barang makanan atau pakaian, maka jang F. 100,— itu bukan sadja suatu tumpukan tenaga-pembeli, bahkan djuga mendjadi „tenaga-penelan", sebab makanan itu habis kita makan dan pakaian itupun kita pakai sampai habis. Makanan dan pakaian itu lenjap dari proses-produksi, dan harus di-adakan baru. Kita katakan dalam pertjakapan ekonomi: barang2 tersebut dikonsumeer oleh rakjat.

Kalau kita mengeluarkan uang F. 1000,— untuk membeli alatproduksi, seperti perkakas atau mesin2, maka uang jang F. 1000 itu adalah suatu tumpukan tenaga-pembeli dari masjarakat, tetapi hakekatnja bukan mendjadi -„tenaga-penelan" atau „Konsumtionskraft".

Sebab uang tersebut betul kita „belikan", akan tetapi apa jang kita peroleh dengan uang tersebut, jaitu alat2 dan mesin2 tali, tidak dapat kita habiskan begitu sadja, artinja tidak dapat kita konsumeer.

Tidak ada seorang kapitalis misalnja, jang membeli sebuah mesin penggiling gula untuk dibakarnja atau dilutjutkannja kedalam laut.

Terketjuali dia seorang gila. Menurut realiteit sehari2 memanglah orang kapitalis itu bukannja orang gila, malahan sebaliknja dari itu.

Alat perkakas, mesin2, gudang2 dan bangsal-pabrik, jang dibeli oleh si kapitalis guna menjelenggarakan produksinja, hakekatnja tidak hilang nilainja, tidak habis begitu sadja, djadinja tidak dikonsumeer oleh masjarakat. Nilai dari alat produksi ini, jang merupakan fixe-kapital itu, berpindah, sedikit-kesedikit pada harga barang jang dihasilkan. Itulah makanja si kapitalis mengadakan sistem „afschrijving" dalam balansnja tiap2 tahun. Disa'atnja si kapitalis mengeluarkan uangnja jang F. 1000,— itu untuk pembeli alat2- produksi tersebut, maka is ikut meluaskan „tenaga-pembeli" masjarakat, dan dalam lingkungan fixe kapital itu, djumlah ini merupakan „Tenaga-konsumsi", (Konsumtionskraft) dari masjarakat kapitalis.

Oleh sebab alat2 itu tidak dikonsumeer setjara biasa, dan penggantiannja tidak saban2 hari, maka sesudah uang jang F. 1000,— itu dibelikan kepada mesin2 tersebut, maka ia sendiri membeku mendjadi modal. Akumulasi kapital ini menimbulkan akibat, jang menambah tadjam lagi pertentangan tenaga-produksi dengan tenaga-konsumpsi dalam masjarakat kapitalis itu, oleh karena tenaga-penelan (Konsumtionskraft) relatip mendjadi bertambah berkurang.

Apa sebabnja maka dalam hal ini tenaga-konsumsi itu relatip mendjadi bertambahberkurang. Oleh sebab fixe kapital jang baru bertambah itu mengakibatkan bertambah
banjaknja produksi. Beginilah sifat2 dan akibatnja akumulasi modal dalam proses-produksi kapitalis.


Tiap2 akumulasi itu mempunjai proses, jang bersifat dialectisch, jaitu bertimbal-balik.

Dalam praktiknja si kapitalis tidak saban hari membarui alat2-produksi mereka, tiada saban2 waktu memperbaiki dan meluaskan alat2-produksi mereka. Djentera2 produksi itu diganti atau dibarui dalam suatu waktu jang tertentu. Dalam waktu pembaruan dan pengluasan aparat produksi kapitalis itu, dimasa akumulasi kapital itu merupakan djuga „tenaga penelan" masjarakat, sekalipun dikalangan modal sadja (berhubungan dengan pembelian, alat2-produksi itu, dan pengluasan fixe kapital), timbullah „Zaman makmur" atau jang ditotoh2kan si kaum bordjuis, sebagai „phase prosperiteit". Berdasar atas proses akumulasi, jang bersifat dialectisch itu, maka mestilah tiap2 „phase kemakmuran" itu akan menimbulkan krisis baru, jang akan lebih hebat lagi dari jang sudah2.

Seluruh proses akumulasi itu memetjah dirinja kepada „perlebihan produksi, jang mendjadikan basis dari segala „tanda2, jang terlihat dalam adanja krisis.”
(Karl Marx: „Theorien tuber der Mehrwert", Bd 111/2, S. 263.)

Keterangan dan bukti2 jang diuraikan diatas, bukan sadja suatu „peristiwa" jang musti terdjadi, tetapi dengan pendjelasan tentang penukaran dan pengluasan aparat-pro.duksi itu, dapatlah orang mengerti apa sebabnja krisis itu tidak bersifat permanent, tetapi periodiek.

Apakah jang bisa mendjadi kesimpulan dari uraian diatas? Perdjalanan prosesproduksi kapitalistis itu mempunjai sifat2 jang bertentangan so'al KRISIS itu bersangkutan sangat (inhaerent) dengan pertentangan antara tenaga-penelan, dan tenaga-produksi. Tenaga-penelan atau tenaga-konsumsi mempunjai sifat terbatas. Bahkan lebih lagi dari itu. „Konsumtionskraft" itu tidak hanja mempunjai sifat terbatas, jang terus menerus, malahan pula setjara relatip ia bersifat munduran terus-menerus. Sebaliknja tenaga-produksi bersifat madju, jang tiada terbatas.

Pertentangan antara tenaga-konsumsi (Konsumtionskraft) dari masjarakat kapitalistis itu, jang mempunjai sifat terbatas dan relatip mempunjai sifat mundur, dengan nafsu kapitalistis untuk mengluaskan kapital, jang tidak ada batasnja, disinilah terletaknja sjarat2 krisis itu, jaitu sjarat2 jang akibatnja mau tidak mau mesti akan menimbulkan krisis, jang datangnja silang-berganti di sa'at2, jang tertentu.

Achir2-nja dasar krisis itu sebenarnja tinggal tetap kemiskinan dan terbatasnja konsumsi dari rakjat djelata itu, berhubungan dengan nafsu produksi kapitalis itu, jang mengembangkan tenaga produksi sedemikian matjamnja, seolah2 „absolute Konsumtionfahigkeit" dari masjarakat itulah, jang merupakan pembatasannja.
(Karl Marx: „Das Kapital", Bd. III h. 21.)

Dengan perkataan „absolute Konsumtionsfahigkeit" Karl Marx memaksudkan ,,kesanggupan Konsumtionskraft jang tiada terbatas", jaitu tenaga-konsumsi, jang telah bebas dari belenggu kapitalisme, seperti jang didapatkan dalam masjarakat sosialis.

Tiadakah dapat nafsu kapitalistis itu ditahan dan dibatasi menurut ”plan”, supaja djangan terus2-an memperluas dan memperbaiki aparat-produksi kapitalis itu? Tidak. Sebab nafsu jang sedemikian, jang sama sekali tidak memperdulikan perdjalanan proses tenaga konsumsi masjarakat itu, jang hakekatnja relatip selalu makin bertambah kurang, adalah suatu keharusan, suatu paksaan bagi si kapitalis untuk bisa menang dan bisa merampas kemenangan dalam perdjuangan konkurensi antara, mereka sesama mereka,

Kaum „Luditten" di Inggeris, diwaktu dahulu pernah menghantjurkan mesin2, pabrik2 dan alat-perkakas produksi kapitalis itu dan dengan djalan demikian mentjegah mengriapnja atau mengembangnja kapitalisme itu. Akibat dari perbuatan jang anarchistis ini hanja merugikan kaum proletar, sebab mereka akan membalikkan masjarakat manusia itu ke tingkatan jang rendah, jaitu kepada tjara berproduksi jang primitief. Mesin2 dan segala perbaikan djentera-produksi itu, bukannja musuh dari si proletar, tetapi adalah kawan penolong dari mereka untuk memudahkan dan meringankan pekerdjaan si proletar dalam proses penghasilan.

Dengan menghantjurkan alat2 djentera produksi sadja orang tidak dapat menghantjurkan kapitalisme. Sebab tiap2 „warenproductie" (produksi barang dagangan, jang bersandar kepada „milik perseorangan) akan membuahkan kapitalisme. Menghantjurkan kapitalisme tidak „identiek" (sama) dengan menghantjurkan modal atau kekajaan. Menghantjurkan kapitalisme berarti menghantjurkan sjarat2, jang mendjadikan produksi itu bersifat kapitalistis. Djadinja merampas alat2 djentera produksi masjarakat itu dari tangan milik-perseorangan si bordjuis, untuk didjadikan milik-bersama, jaitu milik masjarakat.

Dengan menghantjurkan alat2 produksi itu, orang tiada dapat mengembangkantenaga-konsumsi masjarakat itu. Sedangkan, jang mendjadi so'al dari kekalutan produksi sekarang ini ialah „KESUSUTAN" dari Konsumtionskraft masjarakat itu.

Kemunduran „Konsumtionskraft", jang relatip itu, seperti telah diuraikan diatas, mengakibatkan kemiskinan dan kemelaratan kaum perkerdja. Berbalik lagi, keadaan si kaum buruh jang miskin dan melarat itu, menjebabkan timbulnja krisis kapitalis itu pula. Oleh karena tiap2 kekalutan krisis jang muntjul, oleh si kaum bordjuis terus2-an dipikulkan kepundaknja kaum perkerdja, dengan segala matjam akal dan muslihat, maka lama kelamaan mestilah tenaga-penelan, jang tadinja tjuma mundur dalam pengertian relatip, sekarang mundur setjara absoluut.

Akal2 dan muslihat kapitalistis untuk mengatasi kesulitan krisis.

Jang dipentingkan oleh si bordjuis ialah untung mereka. Segala apa jang dipikirkan dan diusahakan oleh mereka dalam waktu krisis, ialah setjara bagaimana untung mereka djangan terganggu, djangan sampai mendjadi merosot kebawah. Inilah dasar dari segala peraturan2, dan undang2 krisis, jang diperbuat oleh kaum kapitalis atau pemerintah mereka.

I. Kita tidak sanggup berkonkurensi di pasar dunia, kata si bordjuis. Ongkos produksi  kita terlampau tinggi, sebab upah buruh terlalu mahal. Upah buruh perlu atau harus diturunkan.

II. Supaja kita dapat berkonkurensi di pasar dunia, haruslah kita mendjual barang2  kita dengan harga murahan, uraian si kapitalis.

Upah tidak bisa lagi diturunkan, sebab si buruh menentang.Si kapitalis minta subsidie kepada pemerintah. Pemerintah kapitalis memberi exportsubsidie kepada kapitalis. Uang ini mesti ditimbulkan oleh belasting negeri, jang dipikulkan kepada si rakjat djelata.

II. Kita tidak bisa beruntung dalam pasar sendiri, sebab terlalu banjak konkurensi, ` kata si kapitalis Supaja menjedikitkan atau melawan konkurensi itu, pemerintah lantas terpaksa membuat beberapa peraturan restrictie (pembatasan). Misalnja untuk mengadakan pabrik2 atau toko2 baru, orang harus mempunjai sjarat ini, sjarat itu, diploma inidiploma itu, dsb. Sudah tentu peraturan2 tersebut mesti mendatangkan keuntungan bagi perusahaan2 jang besar, jang telah ada. Dizaman pendjadjahan Belanda dahulu misalnja, sjarat2 untuk mendirikan pabrik gula demikian diatur, sehingga praktis orang Indonesia tidak bisa mendirikan pabrik gula. Akibatnja? Rakjat tinggal membeli barang mahal.

III. Kita terdesak oleh konkurensi dari luar negeri, udjar si kapitalis. Atas desakan mereka diadakan oleh pemerintah kapitalis tjukai import, jang bermatjam2, sehingga pendjualan barang2 penghasilan „nasional" dapat selamat. Ini digemborkan biasanja seperti „protectionisme", untuk menolong „industri nasional" Akibatnja? Rakjat membeli barang2 luar negeri dengan harga mahal.

IV. Produksi nasional kita terlampau mahal. Kita tidak bisa mendjualkan barang2 banjak2 di pasar dunia, djeritnja si kapitalis. Pemerintah dipaksa mendjatuhkan „koers" uang sendiri sampai beberapa. Akibatnja? Si industriel bisa mendjual barangnja dengan harga murah di pasar dunia dengan tidak perlu rugi. Si bankiers mendapat untung sembari tidur2-an. Tetapi si kaum perkerdja sekarang menderita hebat, sebab dengan „koers baru" itu ia sedikit sekali mendapat barang2 kebutuhan hidupnja dari uang gadjihnja. Upah real si buruh mendjadi turun, karena si kapitalis hendak mendapat untung.

Demikianlah seterusnja. Beberapa rupa peraturan, jang diadakan oleh Pemerintah kapitalis, jang kita dapat lihat dari kebuktian sehari2, gunanja hanja untuk menolong si kaum modal jang dalam kesempitan karena krisis itu.

Dengan beberapa tjonto2 diatas dapatlah tjukup didjelaskan, bahwa segala muslihat dan peraturan, si kaum bordjuis untuk mengatasi kesulitan krisis itu, tidak lain maksudnja mempertahankan kepentingan si kaum modal dengan mengorbankan kebutuhan si proletar.

Segala muslihat si kapitalis untuk mengatasi bahaja dan kekalutan krisis mereka, berarti menambah kemelaratan si kaum perkerdja, menambah mengurangkan „Konsumtionskraft" dari masjarakat itu.

Kemunduran tenaga-konsumsi jang tadinja bersifat relatip mengakibatkan kemelaratan rakjat jang djuga berarti relatip, akan tetapi kemunduran absoluut dari tenaga-konsumsi itu, mesti pulalah mengakibatkan kemelaratan rakjat jang absoluut. Dalam zaman imperialisme ini, proses „absolute Verelendung" (kemelaratan absoluut) dari rakjat-djelata itu sudah lama dibuktikan oleh kenjataan jang menjolok mata.

Kita tidak perlu mengambil tjontoh2 dari luar negeri.

Lihatlah sadja penghidupan rakjat-djelata di pelosok2 desa di Indonesia kita ini. Djutaan rakjat djembelan, jang tiada lagi mempunjai karung untuk nientutupi kemaluan mereka. Djutaan bangsa kita jang kurus-kering, sebab tiada mendapat makan, sekalipun makanan gaplek dan bungkil2.Inilah lambangnja „absolute Verelendung" dari bangsa kita,

Apakah sebabnja, maka, kemelaratan rakjat itu tidak sedikit djuga mendjadi baik oleh adanja „Kemerdekaan", jang sekarang ini? Sebaliknja jang terdjadi. Kemelaratan ini semakin hari, semakin dalam dan semakin memuntjak Bangsa kita, jang telandjangan itu, hanja tjuma mempunjai Lentjana „Merah-putih" doang, jang sedikit keketjilan untuk dapat menutupi kemaluan mereka. Hiduplah Republik Indonesia!!!

„Absolute Verelendung" rakjat itu, tidak sadjaa dihasilkan oleh ,PENDJADJAHAN"jang sekian2 tahun, akan tetapi adalah buahnja „PEMERASAN KAPITALIS", jang telah bersimaharadjalela di Indonesia kita ini dalam sekian2 tahun. PENDJADAHAN BELANDA itu adalah suatu „bangunan", suatu ,vorm" sadja dari „PENINDASAN KAPITALISME". „ Absolute Verelendung ' itu hanja dapat kita lenjapkan, apabila kita tidak sadja menghapuskan kekuasaan-pendjadjahan, akan tetapi kita harus pula menjapu segala kekuasaan kapitalisme dari negeri atau bordjuis sendiri.

Kemelaratan rakjat djelata, jang absoluut" tidak dapat kita perbaiki, dengan djalan dan sjarat2 kapitalistis. Kemelaratan ,jang sudah absoluut itu, hanja bisa dihilangkadengan merubuhkan stelsel kapitalisme itu.

Inilah sjarat2 dan faktor2 jang membuktikan, bahwa susunan kapitalisme mesti akan rubuh dan harus kita rubuhkan. Djalan lain buat memakmurkan rakjat tidak ada. Apakah konklusi jang dapat ditarik dari teori krisis kapitalis itu? Oleh karena terang, bahwa krisis itu senjawa-sebadan dengan stelsel kapitalis itu, dan terang bahwa krisis dan stelsel kapitalis tidak mungkin dapat ditjeraikan satu dari jang lain, maka satu2-nja djalan untuk melenjapkan krisis tersebut dengan segala akibat2-nja, ialah merubuhkan dan menghantjurkan produksi kapitalis, itu, serta menggantinja dengan produksi sosialis.

Sekalipun krisis kapitalis itu dari satu ke satu terus2-an bertambah dalam dan bertambah haat, sekalipun krisis2 itu adalah anasir2, jang akan melemahkan dan achir2-nja merubuhkan stelsel kapitalis itu sendiri, tetapi orang djangan melihat proses-perubahan kapitalisme itu setjara mechanisch, artinja dengan sama sendirinja berontak dan berevolusiuntuk melepaskan diri mereka dari kemelaratan kapitalistis itu. Anggapan jang sedemikian ini („Spontaniteitstheorie", seperti jang dikemukakan oleh Rosa Luxemburg diwaktu dahulu) akan mengakibatkan passiviteit dikalangan rakjat, memupuk sifat2 menunggu sadja, sehingga si rakjat tinggal tidur2-an dan tidak mau memperdjuangkan kepentingan mereka sendiri.

Anggapan „spontaniteitstheorie" tersebut hakekatnja sama djuga dengan paham2 opportunis, jang mengatakan bahwa tidak sekarang sewaktu semangat revolusi memuntjak tinggi, dan  bergelora hebat, kita mesti menegakkan sosialisme itu, tetapi kelak dibelakang hari, nanti kalau kita sudah kuat, artinja kalau pasang revolusi itu sudah surut dan reda. Sekarang kita hanja berkewadjiban menjusun sadja, berorganiseer sadja, dan tidak memperdjuangkan sosialisme, aldus „Sajap Kiri".

Supaja kita bisa berorganiseer, djadi sekarang kewadjiban kaum proletar hanja menjokong si bordjuis sadja, djadinja memperkuat demokrasi kapitalis sadja. Sebab kita mempunjai kewadjiban untuk memperkuat dan membela demokrasi, djadinja harus ta'at dan harus tunduk kepada pemerintah bordjuis, jang hakekatnja mempergunakan „demokrasi" kapitalistis itu guna memetjah, melemahkan dan bila perlu membasmi tenaga2 revolusi.
(Menurut perkataan Amir Sjarifudin misalnja: „mengikis segala anasir2 pengatjau masjarakat kita.").

Orang revolusioner, jang hendak membebaskan rakjat djelata itu dari kemelaratan kapitalis itu, tidak boleh bersekap-tangan menantikan rubuhnja stelsel kapitalis itu dengan = sama-sendirinja, seolah2 menantikan duren masak yang akan djatuh sama-sendirinja dari pohonnja. Teori „duren masak" ini hanja bisa menguntungkan si kaum kapitalis sadja, jang akalnja berbelit2 untuk menghapusi dan menipu rakjat supaja tinggal tentram dan tawakal pada nasib sendiri.

Stelsel kapitalisme itu hanja bisa disingkirkan, apabila dia dirubuhkan dengankekuatan revolusi, artinja dengan mempertarungkan udjung sendjata. Stelselkapitalisme itu tidak dapat dirubuhkan dengan setjara mengemis2 kepada si bordjuisimperialis. Riwajat tjukup membuktikan, bahwa tidak ada pembalikan dan perubahanmasjarakat itu dapat ditjapai dengan „permusjawaratan" dari beberapa pemimpin2 melulu. Pembalikan masjarakat itu hanja dapat dilaksanakan dengan menghantjurkan kekuasaan si bordjuis. Kekuasaan bordjuis itu tidak akan dihantjurkan oleh mereka sendiri, biar bagaimana djuga „kedjudjuran peri-kemanusiaan" mereka, bagaimana djuga „murninja tjinta2-an mereka kepada rakjat". Kekuasaan bordjuis itu hanja bisa dirampas dan dihantjurkan oleh kaum proletar dengan bantuan kaum pekerdja umumnja.

Dirampas dan dihantjurkan, tidak setjara mendjilat2 setjara berlutut kepada kapitalisme, tetapi setjara memperdjuangkan perdjuangan-kelas, jang bersifat hidup-mati, perdjuangan-kelas jang ta' kenal damai dan ampun! Kekuasaan bordjuis jang kuat dan ganas itu, jang hanja memperguna kan „demokrasi" dan „kerakjatan" sebagai ke dokbelaka, semasa mereka masih lemah dan perlu kepada pertolongan rakjat, tetapi lantas akan bertukar mendjadi fasisme, nantinja mendjadi „DIKTATOR KAPITALIS", apabila mereka merasa kuat dan merasa terdesak kepentingan mereka, DIKTATUR BORDJUIS itu hanja bisa ditentang oleh DIKTATUR PROLETAR.

           Oleh sebab itu, mau tidak mau, tiap2 orang jang hendak memerdekakan rakjat djelata itu dari pemerasan Diktatoer kapitalis, hendaklah siap-sedia untuk menggalang atau ikut menggalang ,,DIKTATUR PROLETAR" itu. DIKTATUR PROLETAR itu tidak bisa digalang diatas kertas, sebagai otjehan atau rundingan beberapa orang „pemimpin" sadja, tetapi kekuatan ,,Diktatur Proletar" harus digalang dan hanja dapat digalang dengan praktek perdjuangan-kelas sehari2 oleh rakjat dan dikalangan rakjat sendiri.Diktatur Proletar itu tidak akan timbul sendirinja. Ia akan tumbuh dari praktek revolusioner dari kawan2 seperdjuangan jang mempunjai keinsjafan proletaris. „Diktatur Proletar" itu tidak bisa digerahkan dari tjorong radio dengan perkataan dan sembojan revolusioner jang muluk2 sadja; „diktatur proletar" itu akan dirupakan kelak oleh praktek perdjuangan. kelas, jang akan dilaksanakan oleh tenaga2 revolusioner tiimana2, dikota2 dan dipelosok2 desa, jang betul-betul insjaf akan kewadjiban mereka sendiri. Perdjuangan rakjat jang dilakukan dengan perbuatan, dan tidak dengan omong gardu sadja. Inilah sekarang tugas kewadjiban proletar!

Apakah jang mendjadi kesimpulan kita dari uraian diatas?

Perdjalanan proses-produksi kapitalis itu, dan segala sifat2 jang ada dalamnja memberi pendjelasan kepada kita, bahwa so'al krisis itu bersangkutan sangat dengan so'al Tenaga Konsumsi, jang mempunjai sifat terbatas. Bahkan lebah dari itu. „Konsumtionskraft" itu hanja bersifat terbatas terus-menerus berkurang2!

          Segala tanda2 dan akibat dari proses-produksi itu sendiri, segala keadaan dalammasjarakat itu, jang sifatnja bertentangan dan segala matjam pembentrokan jang ada dalam dan ditimbulkan oleh proces-produksi itu sendiri, adalah sjarat2-nja bahwa susunan kapitalisme itu tidak dapat lagi dipertahankan laana2. Masjarakat kapitalis itu mesti akan rubuh, dan musti akan dirubuhkan oleh tenaga2 jang dihasilkannja sendiri.

Peperangan dunia, jang achir ini, adalah akibat dari kekalutan krisis-dunia, jang telah mengobrak-ngabrik ketentraman produksi-ekonomi dunia kapitalis. Peperangan dunia jang achir ini dalam hakekatnja ada suatu „djalan" dan suatu keharusan dari segala matjam muslihat dan akal si kaum kapitalis untuk mengatasi kekalutan2 krisis jang timbul itu. Tetapi „peperangan jang achir ini" djuga tidak dapat dan tidak mungkin dapat menjelesaikan kekalutan2 krisis itu. Ia hanja memperlipat-gandakan kekalutan dan kesulitan masjarakat kapitalis itu, dan mempertadjam krisis jang akan tiba.

Peperangan dunia jang achir ini mau tidak mau mesti akan membuahkan pertarungin kelas jang amat hebat, jang akan merupakan revolusi dan perlawanan-kelas dan pemberontakan. Ia tidak dapat membuahkan perdamaian dan ketentraman dunia, seperti jang ditjita2-kan oleh kaum bordjuis dan sida2 mereka. Dunia sekarang ini bukan sadja lagi menghadapi krisis, jang ditimbulkan oleh. „overproductie" tetapi sudah lama terantjam oleh bahaja krisis, jang terbitnja dari „onderconsumptie" dunia. Oleh sebab itulah, maka krisis dunia sekarang ini hanja dapat diselesaikan dengan kekuatan revolusi. Hanjalah dengan kekuatan revolusi rakjat dengan aksi sendjata ra'jat proletar dan tani ketjil diseluruh djagat dapat dunia ini dibebaskan dari gentjetan dan pemerasan kapitalisme! Maka tiap2 revolusi jang timbul didunia ini, adalah salah suatu sumbangan dan adjakan untuk revolusi sosial dimana2, adalah bahagian dari revolusi proletar dunia!


ROESTAM EFFENDI

Madiun, Mei 1947.

No comments:

Post a Comment